JAKARTA, KOMPAS.TV – Amnesty International merilis video dan analisis kekejaman yang dilakukan militer Myanmar selama menangani demonstran anti-kudeta.
Dalam rilisnya ini, Amnesty International menyebut militer Myanmar melakukan pembunuhan secara besar-besaran sejak melakukan kudeta pada 1 Februari lalu.
Dengan menganalisis bukti lebih dari 50 video yang beredar di media sosial, Amnesty Internasional memastikan militer Myanmar menggunakan strategi sistematis yang digunakan untuk melakukan banyak pembunuhan.
“Taktik militer Myanmar ini sudah ketinggalan zaman, namun pembunuhan yang mereka lakukan belum pernah disarkan langsung ke dunia untuk melihatnya.” Kata Direktur Tanggapan Krisis Amnesty International Joanne Mariner dalam laporan yang dilansir dari laman resmi amnesty.org, Kamis (11/3/2021).
Baca Juga: Amerika Serikat Jatuhkan Sanksi Bagi Anggota Keluarga Pemimpin Militer Myanmar dan Perusahaannya
"Ini bukan kebingungan, atau pun petugas individu membuat keputusan yang buruk. Ini adalah perintah komandan yang tidak menyesal telah terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, mengerahkan pasukan mereka dan metode pembunuhan di tempat terbuka," papar Mariner menambahkan.
Kekerasan yang dilakukan militer Myanmar memang telah dilakukan selama bertahun-tahun, tidak hanya saat menangani demonstran sekarang ini.
Para etnis minoritas di Chin, Kachin, Karen, Rakhine, Rohingya, Shan, Ta’ang dan banyak lagi pernah mendapat perlakuan kejam dari militer Myanmar.
"Otoritas militer harus segera menghentikan serangan mematikan mereka, menurunkan ketegangan situasi secara nasional, dan membebaskan semua orang yang ditahan secara sewenang-wenang." tambahnya lagi.
Baca Juga: Polisi yang Melarikan Diri dari Myanmar Mengaku Diperintahkan Untuk Tembak Demonstran Sampai Mati
Dari 50 lebih video yang terekam dari 28 Februari hingga 8 Maret di berbagai kota seperti Dawei, Mandalay, Mawlamyine, Monywa, Myeik, Myitkyina dan Yangon memang memperlihatkan kekejaman militer Myanmar.
Dalam video yang terekam di Dawei pada 28 Februari memperlihatkan seorang anggota militer terlihat meminjamkan senapan kepada seorang petugas polisi yang dikerahkan bersama.
Polisi tersebut lalu mulai membidik dan menembak, dan kemudian diikuti petugas polisi lain yang berdiri lalu merayakannya.
Video lain juga menunjukkan bagaimana kejamnya militer Myanmar menangani demonstran. Sepeti video yang beredar tanggal 3 Maret yang menunjukkan seorang pendemo pria digiring ke kerumunan pasukan keamanan Yangon.
Baca Juga: PBB Secara Aklamasi Menyerukan Agar Myanmar Kembali ke Pemerintahan yang Sah
Pria yang sudah tak berdaya itu tak lama ditembak seorang petugas. Setelah ditembak, jasad pria itu ditinggalkan sebelum kembali diseret petugas.
Selain itu, dalam laporannya, Amnesty International juga mengungkapkan pembunuhan berencana kepada para penentang rezim militer.
Amnesty menuding junta militer telah melakukan tindakan eksekusi di luar hukum kepada para demonstran.
Apalagi, Amnesty juga merilis berbagai daftar senjata yang digunakan militer Myanmar yang seharusnya tidak pantas digunakan untuk menangani para pengunjuk rasa.
Baca Juga: Detik-Detik Polisi Myanmar Serbu Rumah Pendukung Aung San Suu Kyi
Pasukan keamanan yang dikerahkan dipersenjatai dengan senapan mesin ringan RPD Cina, serta senapan sniper MA-S lokal, senapan semi-otomatis MA-1, senjata submachine Uzi-replika BA-93 dan BA-94, dan senjata lain yang diproduksi di Myanmar.
"Persenjataan yang dikerahkan oleh Tatmadaw (angkatan bersenjata Myanmar) mengungkapkan peningkatan taktik yang disengaja dan berbahaya," kata Mariner.
"Jangan salah, kita berada dalam fase baru krisis yang mematikan di Myanmar," paparnya menambahkan.
Terakhr, Amnesty International mendesak berbagai organisasi dunia terutama Dewan Keamanan PBB untuk segera bertindak agar kekejaman yang terjadi di Myanmar tidak terus berlanjut.
Baca Juga: Suster di Myanmar Ini Berlutut dan Memohon agar Polisi Berhenti Menembaki Demonstran, tapi...
"Ketika angka kematian melonjak, Dewan Keamanan PBB dan komunitas internasional harus bergerak lebih daripada kata-kata keprihatinan dan segera bertindak untuk menghentikan pelanggaran dan meminta pertanggungjawaban pelaku," tutup Joanne Mariner.
Menurut Pelapor Khusus PBB tentang situasi hak asasi manusia di Myanmar, korban tewas akibat protes per 4 Maret berdiri di angka 61.
Perkiraan resmi ini tidak termasuk korban tambahan yang diketahui dalam beberapa hari terakhir.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.