YANGON, KOMPAS.TV — Unjuk rasa menentang kudeta militer terus terjadi di banyak kota Myanmar hari Rabu, (10/02/2021) mengabaikan larangan junta militer dan bahkan setelah polisi anti huru-hara melakukan tindakan keras kepada pengunjuk rasa, demikian dilansir Associated Press, Kamis, (11/02/2021)
Saksi mata kepada Associated Press mengatakan, setidaknya puluhan ribu orang, mungkin lebih, kembali turun ke jalan-jalan di Yangon dan Mandalay serta ibukota Naypyidaw, berpawai menuntut pembebasan Aung San Suu Kyi dan seluruh pejabat negara yang ditahan militer sejak tanggal 1 Februari lalu.
Pengunjuk rasa juga menuntut pengembalian kekuasaan pemerintahan kepada pemerintah sipil yang sah.
“Sebagai bagian dari Generasi Z, kami adalah pemilih pemula. Ini juga unjuk rasa pertama kami,” kata seorang siswa yang menolak menyebutkan namanya karena kuatir akan mendapat perlakuan buruk,
”Mereka (militer) menegasikan suara pemilu kami dan itu sama sekali tidak adil. Kami tidak ingin itu. Kami harap mereka membebaskan pemimpin kita semua dan menerapkan demokrasi yang sesungguhnya,” tutur siswa tersebut.
Baca Juga: Karena Kudeta, Selandia Baru Tangguhkan Kontak Politik dan Bantuan Militer Pada Myanmar
Junta militer mengatakan, mereka bertindak seperti itu karena pemilu November lalu penuh kecurangan, yang mana dimenangkan secara telak oleh partai Liga Nasional Untuk Demokrasi. Komisi Pemilihan Umum Myanmar menolak tuduhan tersebut dan menyatakan tidak ada bukti kuat.
Beberapa kelompok pengunjuk rasa beraksi di depan beberapa kedutaan negara asing seperti Jepang, meminta agar ada tekanan internasional atas kudeta tersebut.
Sekelompok pengunjuk rasa turun ke jalan membawa peti mati untuk aksi teatrikal pemakaman Jenderal Senior Min Aung Hlaing, pemimpin tertinggi militer saat ini.
Pegawai negeri dari berbagai cabang pemerintahan juga mengambil resiko dan turun ke jalan-jalan bergabung dengan pengunjuk rasa.
Baca Juga: Bagaimana Unjuk Rasa Myanmar Diorganisir dan Apa Proyeksi ke Depan? Simak Penjelasannya
Bahkan beberapa unit polisi secara terbuka memihak dan bergabung dengan pengunjuk rasa.
Sebuah video dramatis yang direkam hari Rabu di desa kecil negara bagian Kayah, Myanmar Timur merekam 42 orang polisi pria dan perempuan yang menyatakan setia kepada pemerintahan terguling dan menolak perintah perwira mereka untuk bertugas.
Membesarnya unjuk rasa dan penyerbuan junta militer terhadap kantor pusat partai NLD memperlihatkan kecilnya ruang rekonsiliasi.
Militer yang berkuasa sejak kudeta tahun 1962 sudah dua kali menggunakan kekuatan senjata menumpas unjuk rasa, yaitu tahun 1988 dan tahun 2007.
Baca Juga: Generasi Milenial Turun Gunung Berunjuk Rasa Melawan Militer Myanmar, Simak Cara Mereka Melawan
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.