WASHINGTON, KOMPAS.TV - Sebagai calon presiden pada 2016, Donald Trump selalu menguasai pemilihan umum dan tidak pernah melepaskannya. Dia dengan sekelompok ahli mendefinisikan lawan-lawannya dengan memberi julukan buruk bagi lawannya. Gaya debatnya adalah mengatakan apapun yang dia suka, dan menarik lawannya dalam jebakan kontroversi yang diciptakannya.
Namun cara-cara seperti ini diperkirakan akan jauh lebih sulit untuk kembali diterapkan dalam pemilihan tahun ini, meskipun Trump masih jadi kekuatan besar dalam kontestasi. Dia telah berulang kali berusaha untuk mengatur dan menyerang kampanye kubu Partai Demokrat.
Kali ini serangan Trump terhadap Biden dianggap tidak konsisten. Hal ini membuat frustasi kubu Partai republik yang menganggap dia telah menyia-nyiakan kesempatan untuk menyerang Biden. Berbagai usaha Trump untuk mengatasi pandemi, penegakan hukum dan pemilihan ekonomi, dianggap gagal menyakinkan para pemilih. Pemilih malah beranggapan bahwa krisis kesehatan masyarakat tidak menjadi perhatiannya.
Selain itu, pada akhir pekan kemarin Trump dihantam isu tentang pajak dan keuangan pribadi, yang diungkap oleh the New York Times.
Debat presiden pertama hari ini antara Trump dan Biden, memberikan kesempatan kepada keduanya untuk membentuk persaingan dan membentuk kesan di mata para pemilih. Namun demikian, pemungutan suara sudah terjadi di beberapa negara bagian. Persepsi publik telah terbentuk, dan Trump kali ini mungkin sudah kehabisan waktu untuk menebar pesona.
“Donald Trump pada dasarnya menghadapi tiga musuh dalam kampanye ini: Dia menghadapi virus corona, dia menghadapi Joe Biden, dan dia menghadapi waktu (yang sempit),” kata Neil Newhouse, seorang praktisi jajak pendapat dari Partai Republik, seperti dilansir dari Associated Press.
Menjelang debat hari ini, Trump telah menyiapkan sejumlah serangan terhadap Biden. Serangannya diperkirakan akan menyasar karakter dan mental Biden, namun serangan Trump kerap kali dinilai tidak konsisten.
Terkadang Trump menggambarkan Biden sebagai kandidat sayap kiri. Lain waktu dia berpendapat bahwa meski Biden lebih moderat, dia akan dikendalikan oleh faksi-faksi paling liberal partainya.
Trump secara agresif berargumen bahwa saingannya yang berusia 77 tahun itu telah kehilangan langkah dan tidak siap untuk menjadi presiden.
Namun dalam poin pembicaraan kampanye Trump yang dikirim Partai Republik pada hari Senin, mereka memperingatkan bahwa kemampuan Biden dalam debat tidak boleh diremehkan.
Beberapa pendukung presiden mengatakan mereka tetap yakin bahwa Trump memiliki waktu dan keterampilan politik untuk menyalip Biden di tahap terakhir ini.
"Presiden Trump memiliki banyak amunisi siap pakai yang telah dia gunakan secara efektif di jalur kampanye," kata Ed Brookover, seorang ahli strategi Partai Republik yang pernah bertindak sebagai penasihat kampanye Trump tahun 2016.
Tetapi secara pribadi, banyak kalangan Partai Republik masih bingung dengan agenda Trump tahun ini. Pada tahun 2016, Trump dengan terampil mengidentifikasi dan memangsa kelemahan para pesaingnya. Namun kali ini, tampaknya Trump masih mencari cara paling efektif untuk mendefinisikan Biden, hingga tahap akhir kampanye tahun ini.
“Rata-rata pemilih perlu mendengar pesan yang sama sekitar delapan kali untuk mengingatnya, apalagi mempercayainya. Dan sebagian besar pemilih tidak menghabiskan hari-hari mereka untuk membaca berita politik,” kata Ben LaBolt, mantan penyusun kampanye Obama dan ajudan Gedung Putih. "Trump telah melempar banyak anak panah ke papan, tetapi tidak satupun dari mereka yang mengenai sasaran," tambahnya.
Ini bukan karena kurangnya upaya dari pihak Trump. Di Twitter dan di acara kampanye, Trump selama berbulan-bulan telah melancarkan berbagai serangan terhadap Biden.
Dia pernah menyerang karir politik Biden yang panjang dan melontarkan klaim yang tidak berdasar tentang hubungan bisnis putra Biden dengan Ukraina. Seiring dengan waktu yang semakin sempit, beberapa serangan Trump terlihat palsu, contohnya adalah tudingan bahwa Biden mungkin menggunakan narkoba selama debat. Tidak ada bukti yang bisa digunakan Trump untuk mendukung tudingan ini.
Sedangkan serangan Trump pada kampenye 2016 dianggap lebih sistematis dan mengena. Pada 2016, dia menuding Hillary Clinton sebagai politisi licik. Dan memberi bukti berupa email yang diretas dari WikiLeaks, yang mengungkapkan secara rinci tentang bagaimana pola kerja menyimpang yang dilakukan Clinton selama menjadi Menteri Luar Negeri.
“Dia berhasil membuat kampanye lebih banyak untuk (menguliti) Hillary Clinton pada 2016, daripada tentang dirinya sendiri,” kata Newhouse. “Tapi tahun ini, dia sulit untuk melakukan itu lagi.”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.