LONDON, KOMPAS.TV - Dalam kondisi normal tanpa pandemi Covid-19, rasanya tak mungkin saya akan mendapat tiket nonton Euro 2020 di Wembley. Tiket pasti sudah habis terjual berbulan-bulan sebelumnya.
Tetapi dengan adanya pembatasan perjalanan antar negara, UEFA sepertinya kerepotan menjual tiket.
Karena itu sambil menonton Inggris versus Ukraina di TV, iseng-iseng saya
buka situs web UEFA, dengan maksud menonton Inggris lawan Denmark atau
partai final.
Ternyata tiket semi-final dan final masih tersedia, tapi antrian untuk masuk situs UEFA amat lama, saya harus menunggu lebih dari setengah jam sebelum bisa sampai ke laman penjualan ticket.
Setelah saya berhasil masuk, ticket yang tersisa hanya untuk partai Italia
melawan Spanyol. Harganya pun selangit, 345 Euro untuk kategori 2, dan 545 Euro untuk kategori 1.
Harga tiket yang lebih murah pun berkali lipat dari batas maksimum dari
uang yang biasa saya bayar untuk menonton suatu pertunjukan.
Akhirnya saya putuskan untuk membeli tiket, dengan pembenaran bahwa tak
mesti 25 tahun sekali akan ada turnamen sepakbola internasional di Inggris.
Saya juga ingin mengulang pengalaman tahun 1996 ketika saya menonton
pertandingan Inggris melawan Belanda dalam Euro 1996 di Stadion Wembley
lama.
*Perayaratan vaksinasi*
Situs UEFA menyebutkan bahwa penonton harus menunjukkan bukti sudah divaksinasi dua kali atau bukti rapid test, agar bisa masuk Wembley.
Ternyata hasil vaksinasi di aplikasi hp saya tidak dilihat sama sekali.
Setelah duduk di stadion, penonton di sebelah saya mengatakan hasil tesnya
diperiksa. Saya pikir mungkin pemeriksaan dilakukan secara acak.
Saya cuma harus menunjukkan tiket elektronik yang tersimpan di aplikasi di
hp.
*Tak ada pemisahan penonton*
Pengaturan tempat duduk penonton pun tidak seperti biasa. Tidak ada pemisahan penonton. Pendukung Italia dan Spanyol bercampur.
Yang saya lihat, pendukung Italia jauh lebih banyak daripada pendukung
Spanyol. Yang saya dengar pun begitu, lagu kebangsaan Italia jauh lebih
bergemuruh daraipada lagu kebangsaan Spanyol.
Di samping saya seorang pendukung Italia berusia 30an tahun mengenakan kaos Azzurri bertuliskan R. Baggio. Sementara di depan saya seorang bapak setengah baya mengenakan kostum biru tanpa nama bernomor 20 yang sudah agak kumal, saya menduga itu nomor yang dipakai Paolo Rossi pada Piala Dunia 1982.
Selain para pendukung Italia dan Spanyol, banyak penonton netral seperti
saya.
Sepertinya banyak orang Inggris yang mungkin tak kebagian tiket semi final
kedua, tapi tak ingin melewatkan kesempatan menonton turnamen besar di London.
Berbeda denga para penonton netral, para pendukung Italia dan Spanyol
menonton pertandingan dengan segala emosi dan sumpah serapah.
Tapi tak ada suasana permusuhan seperti yang terkadang terlihat dalam
turnamen-turnamen lain, meski pendukung kedua kesebelasan tidak dipisahkan.
Suasana pertadingan serasa enak, meriah tanpa dibayangi kekuatiran akan
terjadi kekerasan.
Walaupun di belakang saya ada seorang penonton yang menjengkelkan.
Bicaranya berlogat Inggris asli, tapi dia membela Italia.
Dia hampir tak berhenti ngoceh sepanjang pertandingan, seolah-olah dia adalah Roberto Mancini.
“Keep the ball…we are not keeping the ball… play through the lines” sambil
diselingi umpatan di sana sini.
Ya jelas lah, kata saya dalam hati, mana mungkin para pemain itu sengaja
ingin kehilangan bola. Masalahnya adalah Sergio Busquets dkk lebih akurat
dalam memegang bola.
Susahnya lagi nonton di tribun stadion yang tinggi, para pemain di ujung
lapangan terlihat kabur.
Dari tempat saya duduk, di babak pertama Cesar Azpilicueta yang bermain di posisi back kanan terlihat jelas, tapi saya harus menerka apakah itu Jordi Alba atau Pedri yang menyerang sisi kanan pertahanan Italia.
Meski tak sejelas nonton di televisi, gaya berlari setiap pemain yang khas membuat mereka mudah saya kenali.
Walaupun agak samar, saya langsung tahu bahwa Federico Chiesa lah yang mencetak gol Italia. Demikian pula ketika tendangan kaki kiri Alvaro Morata mengecoh Gianluigi Donnarumma.
Suasana gemuruh yang menyambut setiap gol, dan kemenangan Italia setelah adu penalti, tak bisa ditandingi di televisi.
Tapi saya kira cukuplah saya 25 tahun sekali nonton turnamen besar sekelas Euro 2020. Selain harga tiket yang mahal, saya terlanjur terbiasa melihat pertandingan dari layer televisi yang jernih. Meskipun tanpa kemeriahan atmosfer stadion.
-Anton Alfandi, Koresponden KompasTV di London-
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.