JAKARTA, KOMPAS.TV - PT Pertamina (Persero) membantah pihaknya melakukan uprade blending atau mengoplos Pertalite menjadi Pertamax, seperti yang disebutkan Kejaksaan Agung dalam pengungkapan kasus dugaan korupsi impor minyak Pertamina.
Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso mengatakan, Pertamax yang beredar di masyarakat sudah sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan.
"Kami pastikan bahwa yang dijual ke masyarakat itu adalah sesuai dengan spek yang sudah ditentukan oleh Dirjen Migas. Itu artinya ya RON 92 Pertamax, RON 90 itu artinya Pertalite," kata Fadjar kepada wartawan di Gedung DPD RI, Jakarta, Selasa (25/2/2025).
Ia menyampaikan, narasi yang beredar di masyarakat tidak sesuai dengan pernyataan dari Kejaksaan Agung.
Menurutnya, Kejagung mempermasalahkan pembelian Pertamax yang merupakan BBM dengan RON 92.
Baca Juga: Pengamat Sebut Kasus Korupsi Pertamina Rugikan Masyarakat, Bayar Pertamax Dapatnya Pertalite
"Jadi di Kejaksaan mungkin kalau boleh saya ulangkan, lebih mempermasalahkan tentang pembelian RON 92, bukan adanya oplosan. Sehingga mungkin narasi yang keluar, ada miss-informasi di situ," ujarnya seperti dikutip dari Kontan.
Sebelumnya, Kejagung menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero), Sub Holding, serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada periode 2018-2023.
Ketujuh tersangka tersebut yakni Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, SDS selaku Direktur Feed stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, dan YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shiping.
Kemudian AP selaku VP Feed stock Management PT Kilang Pertamina International, MKAR selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa.
Lalu DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Merak.
Baca Juga: Meski Dirut Pertamina Patra Niaga Jadi Tersangka, Distribusi BBM dan Gas Dijamin Lancar
Kejagung mengungkapkan, pada 2018-2023, untuk pemenuhan kebutuhan minyak mentah seharusnya wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri.
"Pertamina wajib mencari pasokan dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan mengimpor, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018," kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Abdul Qohar dalam konferensi pers, Senin (24/2/2025).
Namun, berdasarkan fakta penyidikan, tersangka RS, SDS, dan AP melakukan pengkondisian dalam rapat optimalisasi hilir sebagai dasar menurunkan produksi kilang.
Hal itu membuat produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya, dan pada akhirnya pemenuhannya dilakukan dengan cara impor.
"Saat produksi kilang sengaja diturunkan, minyak mentah produksi dalam negeri dari KKKS sengaja ditolak dengan alasan produksi minyak mentah oleh KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis," tegasnya seperti dikutip dari Kompas.tv.
"Padahal harga yang ditawarkan oleh KKKS masih masuk range (kisaran, red) harga HPS," ujarnya.
Baca Juga: Keterangan Kejagung soal Korupsi Impor Minyak Pertamina, Negara Rugi hingga Rp193,7 T
Alasan kedua, lanjutnya, produksi minyak mentah KKKS ditolak dengan alasan spesifikasi tidak sesuai dengan spek.
Namun faktanya minyak mentah bagian negara masih sesuai spek kilang dan dapat diolah atau dihilangkan kadar merkuri atau sulfurnya.
"Pada saat minyak mentah dalam negeri oleh pihak KKKS itu ditolak dengan dua alasan tersebut, maka menjadi dasar agar minyak tersebut harus diekspor ke luar negeri," ucapnya.
"Jadi bagian KKKS tadi karena ditolak dengan alasan sesuai dengan spek, harganya tidak sesuai dengan HPS, maka secara otomatis bagian KKKS harus diekspor ke luar negeri," ujar Qohar.
Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, PT Kilang Pertamina Internasional melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang.
Harga pembelian impor tersebut apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri, terdapat perbedaan harga yang sangat tinggi atau sangat signifikan.
Baca Juga: Ekonom Sebut Tony Blair Bisa Tingkatkan Kredibilitas Danantara, tapi Perannya Harus Transparan
"Pada saat KKKS mengekspor bagian minyaknya karena tidak dibeli oleh PT Pertamina, pada saat yang sama PT Pertamina mengimpor minyak mentah dan produk kilang," katanya.
"Selanjutnya untuk kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga diperoleh fakta adanya permufakaan jahat mens rea antara penyelenggara negara yaitu tersangka SDS, AP, RS, dan YF bersama dengan broker yaitu tersangka MK, DW dan GRJ sebelum dilaksanakan dengan kesepakatan harga yang sudah diatur," jelasnya.
Hal itu bertujuan untuk mendapatkan keuntungan secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara.
"Permufakatan tersebut, diwujudkan dengan adanya tindakan (actus reus) pengaturan proses pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang," ungkapnya.
"Sehingga seolah-olah telah dilaksanakan sesuai ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan DMUT/broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi (Spot) yang tidak memenuhi persyaratan," ucapnya.
Baca Juga: Waspada! Jasa Marga Tegaskan Program e-Toll Gratis Rp500.000 adalah Penipuan
Qohar mengungkapkan peran ketujuh tersangka dalam kasus tersebut.
Tersangka RS, SDS, dan AP diduga memenangkan DMUT/broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum.
Sementara tersangka DM dan GRJ diduga melakukan komunikasi dengan AP untuk dapat memperoleh harga tinggi (spot) pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari SDS untuk impor minyak mentah dan dari RS untuk impor produk kilang.
"Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka RS melakukan pembelian (pembayaran) untuk Ron 92 padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di storage/depo untuk menjadi Ron 92 dan hal tersebut tidak diperbolehkan," ujarnya.
Sementara tersangka YF diduga melakukan mark up kontrak shipping (pengiriman) yang dilakukan.
Hal itu membuat negara mengeluarkan fee sebesar 13 sampai 15 persen secara melawan hukum, sehingga tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut.
"Pada saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP (Harga Indeks Pasar) BBM untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal/tinggi, sehingga dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun dari APBN," jelasnya.
Bagikan perspektif Anda, sumbangkan wawasan dari keahlian Anda, dan berkontribusilah dalam memperkaya pemahaman pembaca kami.
Sumber : Kompas.tv, Kontan.co.id
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.