JAKARTA, KOMPAS.TV - Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Didik J Rachbini memproyeksi, pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2025 akan stagnan di level 5 persen.
Penyebab utamanya, tidak ada strategi kebijakan yang berhasil melepaskan sektor industri dari jebakan deindustrialisasi dini. Hal itu terlihat dari Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur yang terus merosot ke level di bawah 50 dalam beberapa bulan terakhir.
"Dengan sektor industri yang diabaikan tanpa kebijakan berarti seperti ini, apakah layak kita berharap tumbuh 8 persen?" kata Didik dalam siaran persnya yang diterima Kompas.tv di Jakarta, Rabu (25/12/2024).
Ia menjelaskan, dalam beberapa tahun terakhir, sektor industri tumbuh rendah, hanya sekitar 3-4 persen. Ini menunjukkan kinerja yang tidak memadai untuk mencapai pertumbuhan di atas 5 persen, apalagi 7 persen seperti yang pernah ditargetkan di era Presiden Joko Widodo atau target 8 persen pada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Baca Juga: Wajib Pajak Sudah Bisa Log in ke Sistem Coretax DJP Mulai 24 Desember 2024
Menurutnya, untuk membangkitkan lagi kinerja sektor industri, maka perlu dilakukan reindustrialisasi berbasis sumber daya alam Indonesia yang kaya, bersaing dan memenangkan pasar internasional yang luas, sehingga otomatis berjaya di pasar domestik.
"Yang harus dijalankan dan telah terbukti sukses di negara industri tidak lain adalah resouce-based industry, led-export industry atau outward looking industry (industri berbasis sumber daya, industri ekspor terkemuka, atau industri berorientasi ke luar). Strategi industri ini pernah dijalankan pemerintah Indonesia pada tahun 1980-an dan awal 1990-an dengan hasil yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi 7-8 persen," terangnya.
Didik yang juga Rektor Universitas Paramadina ini memaparkan, permintaan global saat ini memang mengalami perlambatan, sehingga menerobos pasar internasional tidak mudah lagi.
Oleh karena itu, pasar-pasar baru di luar Eropa, China dan Amerika Serikat perlu dijadikan sasaran perdagangan luar negeri Indonesia. Para duta besar, lanjutnya, harus diberi target untuk meningkatkan ekspor dan menjadikan neraca dagang bilateral menjadi positif.
Baca Juga: Akses Jalan Menuju Stasiun Whoosh Karawang Sudah Terhubung dengan Tol Jakarta-Cikampek
Di luar permasalahan sektoral, ada masalah fiskal yang dihadapi. Yakni utang dari tahun ke tahun terus membengkak dari segi persentase dan nominalnya.
Ia menyebut, dari tahun 2010 sampai dengan 2024, rasio utang Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) terus naik dari 26 persen menjadi 38,55 persen.
Kemudian total utang pemerintah sebesar Rp8.473,90 triliun per September 2024. Didik menilai, ini merupakan praktik kebijakan dan ekonomi politik utang yang tidak sehat, mengikuti hukum politik dimana rezim memaksimumkan bujet (“teori budget maximazer”) tanpa kendali, tanpa kontrol dan tanpa check and balance yang sehat.
"Karena seantero dunia sudah tahu pemimpin Indonesia suka berutang, maka tingkat suku bunga tergerak naik tidak masuk akal. Suku bunga obligasi utang RI paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN," ungkap Didik.
Sumber :
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.