JAKARTA, KOMPAS.TV - Cryptocurrency atau kripto kini merupakan salah satu alternatif investasi yang populer. Sayangnya, tak sedikit kita mendengar cerita orang yang rugi dalam investasi kripto hingga melakukan kejahatan kriminal.
Terbaru, kasus pembunuhan mahasiswa Universitas Indonesia (UI) bernama MNZ yang dibunuh oleh AAB. Pelaku mengaku motif pembunuhan adalah iri terhadap kesuksesan korban dan terlilit utang pinjol karena kerugian di pasar kripto.
Tak hanya di Indonesia, seorang laki-laki dari California bernama Curt Dell mengatakan bahwa dia kehilangan lebih dari 200.000 dollar AS atau sekitar Rp3 miliar dalam bentuk bitcoin setelah perusahan kripto Celcius bangkrut.
Baca Juga: Cerita Teman Kontrakan Pembunuh Mahasiswa UI, Pernah Rugi Rp80 Juta di Investasi Kripto
Sebuah studi yang dilakukan pada 2022 lalu menunjukkan bahwa 73-81 persen orang yang melakukan investasi kripto ternyata rugi. Data tersebut terhimpun dari tahun 2015-2020.
Studi tersebut dilakukan oleh Bank of International Settlement dengan mempelajari aplikasi pasar kripto menggunakan database baru tentang penggunaan harian aplikasi pertukaran kripto di 95 negara.
Ditemukan bahwa laki-laki muda dengan usia di bawah 35 tahun merupakan segmen utama investor kripto baru. Mereka berharap untuk dapat uang sebanyak-banyaknya dari investasi kripto ini.
Cointelegraph menyebutkan bahwa penelitian tersebut konsisten dengan laporan lain di situs Glassnote yang mencatat bahwa presentasi investor yang untung telah mencapai titik terendah dalam dua tahun.
Artinya, dari waktu ke waktu, investor yang untung dalam investasi kripto pun makin sedikit.
Baca Juga: Mahasiwa UI Dibunuh Senior, Polisi: Motifnya Iri karena Korban Lebih Untung saat Bermain Kripto
James Bachini, pengembang blockchain, peneliti, dan investor kripto, mengungkapkan alasan mengapa banyak investor baru kehilangan uangnya dalam investasi kripto.
Menurutnya, investor ini berinvestasi pada waktu yang paling buruk dan pada aset digital yang mungkin paling buruk. Tak hanya itu, mereka juga mengalami fear of missing out (FOMO) atau takut ketinggalan.
Bachini menjelaskan bahwa investor baru kerap mengalokasikan modal ke alternatif coin (altcoin) yang memiliki risiko tinggi, volatilitas tinggi, atau jenis NFT yang tidak likuid. Begitu pasar mencapai puncak, investor dapat mengalami kerugian.
Sumber : Bank of International Settlement
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.