YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Pasar sore Kampung Ramadan Jogokariyan (KRJ) yang terletak di masjid Jogokariyan, Yogyakarta kembali digelar mulai Sabtu (2/4/2022) lalu.
Setiap harinya, para pengunjung akan disambut oleh 3 ribu porsi takjil dari 270 usaha mikro kecil menengah (UMKM) binaan Masjid Jogokariyan.
Tidak hanya sebagai tempat ibadah, masjid Jogokariyan memang dikenal sebagai masjid yang mampu membangkitkan ekonomi warga sekitar.
Baru tiga hari digelar, KRJ sudah diserbu tidak hanya oleh warga lokal namun juga wisatawan luar daerah.
Hal unik lainnya yang ada di Kampung Ramadan Jogokariyan ini, jual beli diterapkan dengan transaksi nontunai atau cashless.
Dalam hal ini, Pemkot Yogyakarta melibatkan sejumlah bank daerah untuk memfasilitas pembayaran nontunai di KRJ.
Lantas, bagaimana sejarah masjid Jogokariyan hingga sampai menjadi pusat ekonomi warga saat Ramadan ini?
Baca Juga: Kampung Ramadan Jogokariyan di Yogyakarta Kembali Dibuka, Tersedia Aneka Ragam Takjil Pilihan
Melansir dari berbagai sumber, berikut sejarah kampung dan masjid Jogokariyan.
Sultan Hamengkubuwono membuka Kampung Jogokariyan karena sesaknya ndalem Beteng Baluwerti di Keraton.
Ia lantas memindahkan bergodo-bergodo Prajurit Kesatuan Keraton ke selatan benteng, tepatnya di utara Panggung Krapyak atau Kandang Menjangan.
Tempat itulah yang menjadi rumah para prajurit keraton sesuai dengan Toponemnya dinamakan “Kampung Jogokariyan”.
Sultan Hamengkubuwono VII membuat kebijakan tersebut karena prajurit saat itu hanya dipekerjakan untuk kepentingan upacara saja, bukan lagi untuk perang.
Akibatnya, banyak prajurit yang kehilangan jabatan dan pekerjaan sebagai abdi dalem.
Mereka lantas mengganti mata pencahariannya sebagai petani di Kampung Jogokariyan dari sepetak tanah yang diberikan oleh keraton.
Namun, banyak di antara prajurit yang gagal menyesuaikan diri hingga akhirnya memutuskan untuk menjual sawah mereka kepada pengusaha batik dan tenun.
Majunya usaha batik dan tenun di Kampung Jogokariyan akhirnya menjadi buruh pabrik di kampung mereka sendiri.
Kampung Jogokariyan sempat dikenal sebagai basis Partai Komunis Indonesia saat meletusnya gerakan G30S tahun 1965.
Anggotanya kebanyakan merupakan para mantan abdi dalem yang berprofesi sebagai petani dan buruh dengan hidup serba kekurangan.
Asal muasal berdirinya Masjid Jogokariyan bermula pada Juli 1966 ketika kelompok Koperasi Batik “Karang Tunggal” dan Koperasi Tenun “Tri Jaya” membeli tanah wakaf seluas 600 m2.
Para pengusaha batik dan tenun itu sebagian besar adalah simpatisan partai politik MASYUMI dan pendukung kegiatan dakwah Muhammadiyah.
Baca Juga: 11 Hari Buka Donasi Patungan Kapal Selam, Masjid Jogokariyan Raih Rp1,4 M
Pengrajin batik H. Jazuri dari Karangkajen adalah salah satu orang di balik pencetus masjid Jogokariyan.
Setelah bermusyawarah dengan beberapa tokoh masyarakat, masjid Jogokariyan akhirnya dibangun pada tahun 1966.
Dibangunnya Masjid Jogokariyan bertujuan untuk menghidupkan kembali nuansa Islami di Kampung Jogokariyan.
Pada Agustus 1967, bersamaan dengan momentum merayakan hari kemerdekaan Republik Indonesia, Masjid Jogokariyan diresmikan oleh Ketua PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah) Kota Yogyakarta.
Sejak saat itu, jamaah masjid Jogokariyan semakin banyak hingga area masjid diperluas dengan membeli tanah yang berada di sekelilingnya.
Selain sebagai tempat salat dan ibadah, pengurus masjid Jogokariyan memiliki visi untuk mewudkan masyarakat sejahtera lahir batin yang diridhoi Allah SWT melalui kegiatan kemasyarakatan yang berpusat di masjid.
Oleh karena itu, masjid Jogokariyan memiliki beberapa program salah satunya memberdayakan warga yang tinggal di sekitar masjid untuk berbagai macam kegiatan.
Masjid Jogokariyan juga dikenal sebagai masjid yang mengupayakan saldo infak nol rupiah setiap pekan.
Infak tersebut digunakan untuk operasional masjid dan kebutuhan mendesak jamaah atau warga yang tinggal di sekitar masjid.
Para pengurus berpendapat bahwa infak jamaah bukan seharusnya disimpan di dalam rekening, melainkan harus dipergunakan untuk kemaslahatan umat.
Kegiatan Kampung Ramadan Jogokariyan (KRJ) itu sempat disorot media Malaysia.
Dalam sebuah koran Star Asean+ terlihat potret masyarakat sedang memilah hidangan buka puasa di KRJ.
"Umat muslim mengumpulkan makanan gratis untuk buka puasa di masjid tradisional selama bulan Ramadan di Yogyakarta," demikian tertulis pada keterangan (caption) foto tersebut.
Sumber : Berbagai Sumber
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.