SOLO, KOMPAS.TV - Percakapan sehari-hari tak luput dari keluarnya umpatan atau kata-kata kotor yang diucapkan seseorang. Tak hanya dalam percakapan langsung, bahkan umpatan kerap ditemui di media sosial.
Tidak jarang pengguna media sosial atau netizen yang kerap menuliskan ungkapan-ungkapan kurang pantas atau mengejek, mencaci hingga mengumpat.
Terbesit pertanyaan bagaimana hukumnya mengumpat saat menjalani puasa Ramadan atau sesudah melakukan berbuka.
Dosen Aqidah dan Filsafat Islam sekaligus Guru Besar di UIN Raden Mas Said Surakarta Syamsul Bakri menyatakan, meski tidak membatalkan puasa namun mengumpat atau berkata kasar dan kotor sama dengan merusak kualitas puasa.
Baca Juga: Apakah Menelan Ludah atau Dahak Membatalkan Puasa? Ini Penjelasan Ustaz
"Orang mengumpat, jangankan di malam hari, di siang hari puasa pun tidak membatalkan puasa," jelasnya dikutip dari Kompas.com, Senin (4/4/2022).
"Puasa asal sesuai syarat rukun dan tidak melakukan hal yang membatalkan, ya tetap sah," lanjutnya.
Syamsul menegaskan esensi utama dari puasa yakni menahan diri dari segala nafsu
Ketika seseorang tak makan, minum, dan melakukan hubungan seks saat waktu berpuasa, Syamsul menyatakan hal tersebut berarti telah menjalankan kewajiban puasa.
Namun, ketika berpuasa tetapi masih melakukan perbuatan tercela, hal tersebut yang membuat kualitas puasa jadi dipertanyakan.
Baca Juga: Ini Penjelasan dan Hukum Mencicipi Masakan saat Puasa
"Ini soal kualitas, sehingga menyebabkan puasa tidak kualitas. Tapi kalau soal sah, itu soal fiqih, soal kualitas soal tasawuf," ungkap Syamsul.
"Jadi, menjadi tidak punya makna, orang yang berpuasa tapi mengumpat, memfitnah, menjelek-jelekkan orang, karena ruh puasa itu menahan diri dari perbuatan yang tidak baik," pungkas dia.
Imam Ghazali dalam kitab mahakaryanya Ihya Ulumuddin membagi tiga tingkatan puasa:
“Ketahuilah bahwa puasa ada tiga tingkatan: puasa umum, puasa khusus, dan puasa paling khusus. Yang dimaksud puasa umum ialah menahan perut dan kemaluan dari memenuhi kebutuhan syahwat. Puasa khusus ialah menahan telinga, pendengaran, lidah, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari dosa. Sementara puasa paling khusus adalah menahan hati agar tidak mendekati kehinaan, memikirkan dunia, dan memikirkan selain Allah SWT. Untuk puasa yang ketiga ini (shaumu khususil khusus) disebut batal bila terlintar dalam hati pikiran selain Allah SWT dan hari akhir.”
Tiga tingkatan ini disusun berdasarkan sifat orang yang mengerjakan puasa. Ada orang puasa hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi perbuatan maksiat tetap dilakukannya. Inilah puasa orang awam.
Kedua, yaitu puasanya orang-orang shaleh. Mereka puasa tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari melakukan dosa. Percuma berpuasa, bila masih terus melakukan maksiat.
Ketiga puasa paling khusus. Puasa seperti ini hanya sedikit orang yang mampu melakukannya. selain menahan lapar dan haus dan menahan diri untuk tidak bermaksiat, mereka juga memfokuskan pikirannya untuk selalu mengingat Allah SWT.
Sumber : Kompas,com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.