SOLO, KOMPAS.TV - Masjid Laweyan merupakan bangunan bersejarah yang menjadi saksi bagaimana peradaban Islam tumbuh di Kota Solo atau Surakarta.
Dilansir dari situs Kemdikbud, Masjid Laweyan yang berusia hampir lima abad ini merupakan masjid tertua yang berada di Solo.
Terletak di Dusun Pajang RT 4 RW 4, Laweyan, Surakarta, gaya bangunan masjid ini mirip seperti Kelenteng Jawa.
Hal tersebut menjadi ciri khas tersendiri bagi Masjid Laweyan yang membuatnya berbeda dengan bentuk gaya bangunan masjid pada umumnya.
Sebelum Islam punya pengaruh, Indonesia sangat lekat dengan peradaban Hindu dengan banyaknya kerajaan di Tanah Jawa.
Pengaruh Hindu-Jawa itu juga terlihat dalam gaya bangunan Masjid Laweyan.
Hal itu tampak dari penataan ruang dan sisa ornamen yang masih dapat ditemukan di sekitar masjid hingga saat ini.
Letak masjid yang berada di atas bahu jalan menjadi turut menjadi ciri utama Masjid Laweyan yang dulunya merupakan pura Hindu.
Baca Juga: Musim Umrah Tiba, Arab Saudi Perketat Aturan Pemakaian Masker di Masjidil Haram
Pura tersebut kemudian beralih menjadi masjid yang awalnya berbentuk rumah panggung bertingkat dari kayu.
Pengaruh Hindu lain turut terlihat dari posisi masjid yang lebih tinggi dibandingkan bangunan di sekitarnya.
Saat ini, sejumlah ornamen Hindu tidak lagi terpasang di masjid tapi ornamen seperti hiasan ukiran batu masih menghiasi makam kuno yang ada di kompleks masjid.
Sedangkan dari pengaruh Jawa, tata ruang Masjid Laweyan merupakan tipologi masjid Jawa pada umumnya.
Pengaruh dari Kerajaan Surakarta terlihat dari ruangan yang dibagi menjadi tiga bagian, yakni ruang induk (utama) dan serambi yang dibagi menjadi serambi kanan dan serambi kiri.
Serambi kanan menjadi tempat khusus putri atau keputren, sedangkan serambi kiri merupakan perluasan untuk tempat salat berjamaah.
Bentuk atap menggunakan tajuk atau bersusun juga menjadi ciri lain kuatnya pengaruh Jawa di Masjid Laweyan.
Dinding masjid yang terbuat dari susunan batu bata dan semen juga masih kokoh.
Baca Juga: Tradisi Bersih-Bersih Masjid Sambut Ramadan
Penggunaan batu bata sebagai bahan dinding ini sebenarnya baru digunakan masyarakat sekitar tahun 1800.
Awalnya, sebelum dibangun seperti sekarang, bahan-bahan bangunan masjid sebagian masih menggunakan kayu.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, Kompleks Masjid Laweyan juga menjadi satu dengan makam kerabat Keraton Pajang, Kartasura, dan Kasunanan Surakarta.
Salah satu makam yang paling banyak dikunjungi ialah makam Kiai Ageng Henis.
Kiai Ageng Henis adalah seorang tokoh dari Sela yang hijrah ke Pengging.
Ia juga dikenal dengan sebutan Ki Ageng Laweyan, karena bertempat tinggal di Laweyan.
Selama hidup di Laweyan, ia pernah menjadi guru spiritual Jaka Tingkir saat belum naik takhta menjadi raja Pajang atau masih bernama Mas Karebet.
Selain makam Kiai Ageng Henis, beberapa kerabat dari kerajaan seperti Susuhunan Paku Buwono II, Permaisuri Paku Buwono V, Pangeran Widjil I Kadilangu Nyai Ageng Pati, Nyai Pandanarang, Prabuwinoto anak bungsu dari Paku Buwono IX, Dalang Kraton Kasunanan Surakarta, Kiai Ageng Proboyekso, dan Kiai Ageng Beluk juga dimakamkan di Kompleks Masjid Laweyan.
Baca Juga: Manfaatkan Ramadan, Pemerintah Buka Vaksinasi di Masjid Buat Jemaah Salat Tarawih
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.