JAKARTA, KOMPAS.TV – Dalam agama Islam ada istilah ghoyah dan wasilah. Goyah artinya puncak atau tujuan, sedangkan wasilah bisa berarti media, perantara, sarana atau jalan menuju puncak.
Laksana pendaki, tujuan akhirnya adalah puncak gunung. Untuk bisa tiba di sana, harus melewati jalanan yang menghubungkan ke puncak.
Sementara itu, jalan menuju puncak, ada yang lurus, berliku, berbelok, memutar, bahkan ada pula jalan buntu.
Dalam perumpamaan lain, membangunkan orang sahur di bulan Ramadan. Sahur itu tujuannya, sementara untuk membangunkan orang sahur, ada banyak cara. Salah satu medianya, misalnya dengan menggunakan bedug seperti pada zaman Sunan Kudus.
Ustadz M Arsyad Haikal S.Sy. mengatakan dalam penerapan sunnah, ghoyah dan wasilah sangat penting. Ia menjelaskan, ghoyah harus tercapai tetapi wasilah bisa berubah-ubah.
Baca Juga: Yuk, Tengok Menu Takjil Favorit Warga Kota Tegal saat Ramadan: Ada Puli dan Gemblong
“Pada zaman nabi, berperang menggunakan panah dan kuda. Sehingga belajar memanah dan berkuda itu menjadi sunah. Kalau sekarang kan beda, pake pesawat tempur misalnya. Maka cara mempelajari pesawat tempur sunnah juga, meskipun dalam hadits tidak disebut,” jelas Ustadz Arsyad kepada KompasTV, Sabtu (24/4/2021).
Maka dari itu, kata Ustadz Arsyad, sangat penting untuk memahami metode ghoyah dan wasilah terutama dalam penerapan kehidupan sehari-hari.
Salah satu contoh sederhana adalah pernikahan. Dekorasi, gedung, katering atau souvenir adalah wasilah. Ghoyah-nya, sakinah mawaddah, rahmah serta memiliki keturunan yang baik; sholeh dan sholehah.
Namun pada kenyataan, kaidah ini malah banyak tertukar. Misalnya, beberapa orang mati-matian untuk acara resepsi pernikahan, lamaran atau bahkan menikah di depan Ka’bah atau di atas gunung. Alih-alih sebagai wujud ekspresi diri, tidak lama kemudian bercerai.
Baca Juga: Berkah Ramadan Bagi Pedagang Kurma, Pendapatan Meningkat Hingga 50 Persen
Sejatinya, ghoyah dalam hidup adalah Sang Pencipta. Tetap lagi-lagi, saat berdoa, seringkali tertukar antara ghoyah dan wasilah.
“Misalnya, dzikir tahlil atau tauhid “Lâ ilâha illallâh” paling tidak memiliki dua makna, nâfi (peniadaan) dan itsbât (penetapan). Yaitu meniadakan tuhan-tuhan apapun yang disembah, diutamakan, didamba, dirindu, dituju, ditaati, dicinta, selain menetapkan dan menegaskan bahwa Allah ‘azza wa jalla lah satu-satunya tujuan (ghâyah) itu semua,” dikutip dari arikula.id.
Namun, perlu kiranya diadakan koreksi pada diri, benarkah dzikir itu menjadikan Allah SWT sebagai ghâyah (tujuan), atau sekadar wasilah (perantara) untuk mendapatkan ghâyah lain?
Wallahu a’lamu bis-shawab.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.