JAKARTA, KOMPAS.TV- Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro mencapai puncaknya pada 1830. Pasukan Diponegoro mengalami kekalahan. Apalagi beberapa orang dekat pangeran seperti pamannya, Pangeran Ngabehi dan dua puteranya tewas secara mengenaskan di Pegununga Kelir.
Pada 21 Februari 1830 atau empat hari menjelang bulan puasa tiba, Pangeran Diponegoro tiba di Menoreh, Bagelen (kini masuk Purworejo) untuk mengadakan perundingan dengan perwakilan gubernur Jenderal sekaligus pejabat militer Henrik Marus Baron de Kock.
Namun, karena de Kock masih di Batavia, Diponegoro dan pasukan bergerak menuju Magelang, tepatnya di sebuah perkemahan di Matesih, dekat Kali Progo, pada 8 Maret 1830.
Di sanalah mereka menjalankan ibadah puasa. Dan selama menjalankan puasa, tidak ada perang sebagaimana permintaan Diponegoro.
Kala itu kondisi tubuh Diponogoro sudah lemah akibat perang bertahun-tahun dan memasuki hutan belantara. Terutama penyakit malaria yang menyerangnya.
Baca Juga: Lama Tak Muncul, Prabowo Unggah Foto Bersama Keris Pangeran Diponegoro
Seorang pejabat militer Belanda Cleerens menggambarkan kondisi tubuh sang pangeran, "Lebih dari siapapun, (ia) membutuhkan istirahat. Seluruh tubuhnya terlihat sangat letih," demikian digambarkan dalam buku Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) karya Peter carey yang diterbitkan KOMPAS.
Ketika memasuki Magelang, Diponegoro dan pasukan dielu-elukan dan disambut masyarakat. Pasukan pun membengkak menjadi 800 orang yang sebagian besar adalah bekas prajurit resimen kawal pribadi pangeran.
Ketika memasuki Magelang, mereka bersorban dan jubah hitam dengan tombak terhunus.
Cleerens menngambarkan kedatangan Diponegoro dan pasukannya, "Diponegoro masih memiliki banyak pendukung, di mana-mana orang menghormati dan mengelu-elukan dia," demikian laporan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van den Bosch yang cemas kepada atasannya di Belanda.
Baca Juga: Jokowi Terima Pusaka Pangeran Diponegoro dari Raja Belanda
Hal ini yang membuat pejabat militer Belanda berhati-hati dalam menangkap Diponegoro. Mereka takut pertempuran meletus lagi.
Untuk antisipasi, dua satuan pasukan gerak cepat dikirim ke Magelang untuk melapis kekuatan yang sudah ada di markas militer itu.
Akhirnya pada 28 Maret 1830 atau hari kedua Lebaran, Diponegoro menemui De Kock untuk sebuah kunjungan silaturahmi.
Disebutkan bahwa kunjungan ke petinggi militer ini laksana jalan-jalan saja, sehingga Diponegoro tidak mengenakan pakaian resmi.
Tapi inilah puasa dan Lebaran terakhir Diponegoro di tanah kelahirannya, Pulau Jawa.
Dalam lukisan Raden Seleh tentang penangkapan Diponegoro, sang pangeran digambarkan mengenakan sorban hijau dengan warna merah dan putih di pucuknya. Jubah putih di atas celana panjang, kemeja lengan panjang, stagen lebar berwarna kuning keemasan dengan tasbih yang menjuntai.
Saat itulah Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda secara licik. Setelah bertemu De Kock, Diponegoro langsung dibawa ke Batavia (dipenjara di Stadhuis, yang sekarang Kota Tua Jakarta). Kemudian diasingkan ke Menado, Sulawesi Utara, dan meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan pada 1855.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.