JAKARTA, KOMPAS.TV - Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Wawan Heru Suyatmiko menjelaskan bahwa anjloknya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Indonesia disebabkan turunnya Political Risk Services (PRS) atau risiko politik.
Wawan mengungkapkan, ia mengaku terkejut dengan anjloknya nilai IPK di Indonesia yang biasanya turun satu atau naik satu tiap tahunnya.
"Jadi memang, kami sebagai peneliti juga merasa terkejut, karena selama beberapa tahun terakhir, setidaknya sepanjang tahun 2012-2022, sepuluh tahun terakhir ya, kami memonitor bahwa pergerakan naik satu, turun satu, stagnan," buka Wawan dalam program Sapa Indonesia Malam di Kompas TV, Kamis (2/2/2023).
"Tapi tiba-tiba guncangan itu terjadi pada 2019 ke 2020, itu mulai pertama kali kita drop sampai dengan tiga poin. Kami memberi sejumlah masukan, artinya bahwa di sisi politik, sisi ekonomi, dan sisi penegakan hukum, itu harus berjalan beriringan tiga-tiganya, ya. Tidak boleh mana yang lebih duluan, mana yang ditinggalkan," paparnya.
"Nah, kemudian kita memetik hasil di tahun 2021, naik satu poin. Tetapi yang justru menjaga ritme kerja bareng bertiga ini, kembali kendor. Di mana? Di sisi politiknya," tuturnya.
"Karena turun empat poin skor CPI (Corruption Perception Index) kita tahun 2022 itu, sumbangan tertingginya adalah dari PRS (Political Risk Services). Itu drop sampai 13 poin," terangnya.
Wawan kemudian menjelaskan, sisi risiko politik menjadi masalah yang dihadapi oleh investor yang mau berbisnis di Indonesia.
Baca Juga: Jokowi Minta SPBE Dikebut untuk Tekan Korupsi, Menpan-RB: Ini Bukan Sekadar Digitalisasi
"Political risk bicara apa? Political Risk Services itu bicara soal bagaimana risiko politik yang dihadapi pelaku usaha, oleh investor, ketika mereka mau berusaha di Indonesia," lanjutnya.
"Kalau dijabarkan dalam Political Risk Services, ada setidaknya tiga hal atau indikator yang paling mengemuka. Yang pertama adalah soal konflik kepentingan yang terjadi antara pejabat atau politisi dengan pelaku bisnis," tuturnya.
"Yang kedua, masih ditemukannya terkait suap atau korupsi di ekspor impor, terutama tata kelola perdagangan. Dan yang ketiga, itu soal badan audit kita yang dianggap tidak independen. Badan audit atau badan pengawas ini bukan hanya BPK, tapi seluruh badan-badan independen yang berfungsi sebagai check and balances," urainya.
Seperti diketahui, Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception Index Indonesia pada tahun 2022 melorot empat poin menjadi 34 dari sebelumnya 38 pada 2021 atau berada di posisi 110 dari 180 negara yang disurvei.
Bahkan di Asia Tenggara, posisi Indonesia hanya berada di urutan keenam di bawah Singapura (83), Malaysia (47), Timor Leste (42), Vietnam (42), Thailand (36) dan hanya unggul dari Filipina (33), Laos (31), Kamboja (24), dan Myanmar (23).
Baca Juga: Korupsi Subur di 2022! Mahfud MD: Skor IPK Terburuk Sejak Era Reformasi 1998
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.