JAKARTA, KOMPAS.TV – Resesi kembali menjadi topik hangat saat ini setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebutkan bahwa pada 2023 diproyeksikan dunia bersama-sama akan terjun ke jurang resesi.
Inflasi yang tinggi akibat melesatnya harga pangan dan energi di sejumlah negara, khususnya Eropa dan Amerika Serikat (AS), disebut sebagai pemicu. “Kalau bank sentral di seluruh dunia meningkatkan suku bunga cukup ekstrem dan bersama-sama, dunia mengalami resesi di 2023," ujarnya, Senin (26/9/2022) dalam Konferensi Pers APBN KITA.
Adapun Indonesia pernah mengalami resesi pada 1998 yang berujung tumbangnya kekuasaan Presiden Soeharto atau Orde Baru. Resesi terbaru di Indonesia terjadi pada 2021 atau setelah PDB merosot dalam kuartal berturut-turut usai diterpa pandemi Covid-19.
Resesi nampaknya juga akan menyelimuti perekonomian dunia termasuk Indonesia saat ini. Namun, perlu diketahui resesi ini mempunyai arti yang lebih luas dibandingkan dengan krisis ekonomi. Berikut penjelasaanya.
Menurut Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menyebutkan, resesi berbeda dengan konsep krisis ekonomi, dikutip dari Kompas.com.
Resesi adalah penurunan pertumbuhan ekonomi dalam dua kuartal berturut-turut. Bahkan, sebuah lembaga penelitian di AS, National Bureau of Economic Research (NBER) mendefinisikan resesi sebagai indikasi turunnya daya beli masyarakat secara umum dan naiknya angka pengangguran.
Adapun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan perhitungan resesi merujuk pada pertumbuhan ekonomi secara tahunan, bukan kuartalan. Artinya, ekonomi suatu negara yang minus dalam dua kuartal berturut-turut belum bisa disebut resesi.
Baca Juga: Hampir Sama, Ini Perbedaan Resesi dan Depresi Ekonomi
Sementara, krisis ekonomi adalah situasi dimana terjadi penurunan beberapa indikator ekonomi, di antaranya seperti krisis finansial berarti yang turun adalah sektor keuangan, nilai tukar rupiah, hingga kinerja perbankan.
"Satu kuartal negatif juga bisa dikategorikan sebagai krisis," jelas Bhima.
Bima menyebutkan bahwa dampak yang terjadi dalam resesi bisa lebih besar dan luas dibandingkan dengan krisis. Selain itu, dari sisi waktunya pun lebih panjang.
"Kalau resesi ekonomi lebih merata di seluruh sektor ekonomi baik sektor finansial maupun sektor riil," imbuhnya.
Sedangkan, Vice President Economist PT Bank Permata Josua Parade menjelaskan, krisis ekonomi adalah keadaan yang mengacu pada penurunan kondisi ekonomi drastis yang terjadi di sebuah negara.
"Krisis ekonomi sendiri dipahami sebagai adanya shock pada sistem perekonomian di suatu negara yang menyebabkan adanya kontraksi pada instrumen perekonomian di negara tersebut, seperti nilai aset ataupun harga," jelas dia.
Tanda-tanda krisis ekonomi biasanya didahului oleh;
Melihat indikator tersebut, Bima menyebut resesi bisa lebih berbahaya bagi perekonomian daripada krisis. Sebab, proses pemulihan resesi yang diperlukan pun relatif lebih sulit.
"Karena krisis biasanya adalah parsial. Tahun 2008 lalu memang ada gagal bayar Bank Century, tapi saat itu UMKM masih cukup menopang ekonomi. Buktinya pertumbuhan ekonomi 2008 masih 6,1 persen," papar Bhima.
Sementara, dibandingkan saat ini, resesi ekonomi membuat sebagian besar UMKM terpukul dan dampaknya lebih merata. “Resesi bisa membuat perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran karena ekonomi tak bergerak,” sebutnya.
PHK tersebut akan menambah pengangguran di suatu negara dan mengakibatkan jumlah orang miskin akan bertambah. Daya beli masyarakat pun akan semakin melemah sehingga pemerintah perlu ongkos lebih besar lagi untuk memperbaiki perekonomian.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.