JAKARTA, KOMPAS.TV- Indonesia saat ini tengah dalam proses untuk menjadi anggota organisasi anti pencucian uang dan pendanaan terorisme, atau Financial Action Task Force on Money Laundering and Terrorism Financing (FATF).
Salah satu tahapannya adalah menjelaskan kebijakan Tax Amnesty Jilid 2 atau Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang baru berakhir Juni lalu.
Hal itu disampaikan Dirjen Pajak Kemenkeu Suryo Utomo dalam webinar bertema "Kenapa Indonesia Harus Jadi Anggota Penuh FATF", Selasa (26/7/2022).
“Ada bagian dari sisi kami yang memang akan dievaluasi oleh tim FATF, antara lain bagaimana pendekatan hukum perpajakan berkorelasi dengan penegakan hukum tindak pidana pencucian uang,” kata Suryo.
Baca Juga: Cegah Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, OJK Gunakan Big Data dan Artificial Intelligence
“Dengan teman-teman PPATK kami memberikan penjelasan pada evaluator dari FATF mengenai kegiatan PPS ini yang memang tidak melanggar empar pilar transparansi dan penegakan hukum pencucian uang,” lanjutnya.
Menurut Suryo, setelah mendengarkan penjelasan Indonesia, pihak FATF menyatakan program PPS tidak melanggar pilar terkait penegakan hukum tindak pidana pencucian uang.
Suryo mengatakan, ada potensi pajak dari harta yang disembunyikan di luar negeri yang dapat terungkap apabila Indonesia menjadi anggota tetap FATF. Namun jumlah pastinya belum bisa disampaikan.
Pihaknya akan memperkuat kerja sama dengan PPATK, untuk memastikan penindakan penghindaran pajak sesuai dan dapat mengurangi tindak pidana pencucian uang.
Baca Juga: Credit Suisse Tampung Rp1.430 T Dana Pencucian Uang Kartel Narkoba hingga Diktator
“Ke depan yang dapat kami lakukan adalah berkolaborasi dan mendukung penegak hukum lain, khususnya PPATK, untuk memberikan cerita bahwa tindak pidana pajak bisa berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang,” tutur Suryo.
Ia menjelaskan, manfaat lain dari masuknya RI sebagai anggota tetap FATF adalah meningkatnya investasi ke Indonesia.
Pasalnya, Indonesia akan diakui sebagai negara yang transparan. Sehingga tidak lagi termasuk ke dalam negara yang memiliki risiko tinggi untuk dijadikan lokasi pembangunan usaha.
“Ini terkait kredibilitas Indonesia dalam konteks hubungan baik antar negara maupun hubungan bisnis. Jadi dengan kredibilitas yang baik, hubungan antar negara dan bisnis Indonesia juga bagus nantinya,” paparnya.
Sumber : KompasTV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.