JAKARTA, KOMPAS.TV – Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan yang digodok DPR dinilai bertentangan dengan pengembangan energi ramah lingkungan. Dalam rancangan tersebut memasukkan energi fosil dan nuklir.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil pun mempertanyakan hal itu. Satu di antaranya ada dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Berdasarkan survei YLKI terhadap sejumlah masyarakat di Jawa Tengah, sekitar 90 persen warga belum mengerti pembangkit listrik berbasis energi terbarukan.
Akan tetapi, mereka mau berpindah menggunakan energi terbarukan asalkan harga terjangkau dan berkualitas.
”Energi terbarukan seharusnya diberikan insentif fiskal dan nonfiskal, bukan energi fosil. Energi fosil, kan, merusak lingkungan, tetapi mengapa masih diberikan subsidi,” ujar Ketua YLKI Tulus Abadi dalam diskusi pernyataan bersama untuk RUU Energi Baru dan Terbarukan, Kamis (19/5/2022) kemarin di Jakarta, dilansir dari Kompas.id.
Kemudian ada dari Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI). Direktur Eksekutif METI Paul Butarbutar mengatakan, Indonesia telah memiliki UU Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.
“DPR seharusnya memperkaya UU itu ketimbang memasukkan nuklir ke dalam RUU EBT. Jika Indonesia bisa fokus membuat RUU Energi Terbarukan, Indonesia bisa menggaet investasi dan mencapai target karbon netral,” ujarnya.
Baca Juga: Komisi VII DPR RI Sebut RUU EBT Ditargetkan Rampung Akhir Tahun Ini
Pakar lingkungan hidup sekaligus pengajar di Universitas Katolik Atma Jaya Sonny Keraf turut mengungkapkan, inisiatif DPR mengupayakan adanya regulasi perundang-undangan khusus terkait energi terbarukan merupakan suatu kemajuan.
Namun, perwujudannya melalui RUU tersebut merupakan kemunduran.
Dia menilai, sejumlah substansi yang tercantum dalam RUU ini terkesan ada lobi kuat pemain industri energi fosil.
Untuk diketahui, draf RUU Energi Baru dan Terbarukan versi 17 Maret 2022 memiliki 14 bab dan 62 pasal. Substansi mengenai nuklir muncul pada Pasal 10-15.
Nuklir, sesuai Pasal 9 RUU tersebut, termasuk cakupan sumber energi baru bersama hidrogen, gas metana batubara, batubara tercairkan, dan batubara tergaskan (gasifikasi batubara).
Sementara itu, Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto menjelaskan, RUU ini merupakan inisiatif DPR sejak 2016.
Sejak awal, RUU mencantumkan konsep energi baru dan energi nuklir untuk dimasukkan.
Kemudian, latar belakang disusunnya RUU tersebut adalah Indonesia memiliki potensi sumber energi fosil dan nonfosil yang melimpah, tetapi belum tertata dengan baik.
”Di dalam RUU tersebut, kami membuatkan satu bab khusus terkait partisipasi masyarakat. Masyarakat berhak memberikan masukan, mengajukan keberatan, mengawasi, dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan energi baru dan terbarukan di Indonesia,” ujarnya.
Adapun, turut serta dalam diskusi itu selain dari METI dan YLKI yaitu, Institute for Essential Services Reform (IESR), Bersihkan Indonesia, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Adidaya Initiative, dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).
Sumber : Kompas TV/Kompas.id
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.