JAKARTA, KOMPAS.TV - Banyak pihak yang mengkritik program bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng yang diluncurkan pemerintah. Bahkan ada pihak yang menyebutnya sebagai kebijakan malas. Namun, ekonom senior Chatib Basri menilai program BLT sudah tepat.
Lantaran ditargetkan untuk masyarakat miskin yang masuk dalam Keluarga Penerima Manfaat (KPM) Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Nontunai (BPNT), dan PKL yang berjualan gorengan.
“Jadi langkah pemerintah sudah benar, harga mengikuti pasar dan kemudian memberikan BLT,” kata Chatib, Senin (4/4/2022), seperti dikutip dari Antara.
Ia menjelaskan, uang sebesar Rp6,9 T yang dikeluarkan untuk BLT minyak goreng akan dinikmati oleh masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Berbeda dengan kebijakan sebelumnya, yang berupa penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET).
Baca Juga: Pemerintah Salurkan BLT Minyak Goreng, Pengamat: Saya Bilang BLT Tidak Mendidik
Kebijakan itu membuat pemerintah harus mengganti selisih harga beli dengan harga jual kepada para produsen minyak goreng.
Sementara minyak goreng yang dijual dengan harga HET atau yang sudah disubsidi, dibeli oleh berbagai lapisan masyarakat termasuk golongan menengah ke atas.
"Kebijakan pemberian subsidi melalui penetapan HET pada minyak goreng beberapa waktu lalu justru kurang tepat karena seluruh kalangan masyarakat dapat menikmati sehingga minyak goreng menjadi langka," ujar Chatib.
Ia menyampaikan, pemerintah sudah melakukan dua upaya untuk menangani naiknya harga minyak goreng. Pertama, dengan menyubsidi harganya melalui HET atau price control.
Lalu kebijakan lainnya melepas harga sesuai mekanisme pasar. Namun diberikan subsidi khusus masyarakat miskin.
Baca Juga: Kritik Pemerintah, Pengamat: BLT Minyak Goreng Adalah Kebijakan Malas, Tidak Mendidik
Menurut Chatib yang juga Komisaris Utama Bank Mandiri, kebijakan HET tidak tepat karena akan menyebabkan barang tersebut langka dan sudah dibuktikan di hampir semua negara termasuk Polandia dan Amerika Latin.
“Price control itu di mana-mana tidak akan bisa jalan. Itu adalah the first lesson of the economic (pelajaran pertama dari perekonomian), jangan sekali-kali melakukan price control. Kalau harganya di-set di bawah biaya produksi, barangnya akan hilang,” tutur Chatib.
Ia juga menyebut jumlah uang yang harus dikeluarkan pemerintah lebih sedikit, jika menggunakan skema BLT. Pasalnya, yang menikmati BLT hanya sedikit, dibanding subsidi HET yang bisa dibeli semua orang.
"Kenapa benar? Karena beban dari BLT itu lebih kecil dari subsidi seluruh barang. Bayangkan kalau seluruh minyak goreng atau BBM disubsidi, maka yang kaya juga menikmati,” ucap Chatib.
Sumber : Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.