Kompas TV bisnis ekonomi dan bisnis

Minyak Goreng Masih Mahal, Benarkah Permainan Kartel Mafia?

Kompas.tv - 1 Februari 2022, 22:31 WIB
minyak-goreng-masih-mahal-benarkah-permainan-kartel-mafia
Permasalahn minyak goreng dan dugaan adanya mafia kartel. (Sumber: Kompastv)
Penulis : Fransisca Natalia | Editor : Gading Persada

JAKARTA, KOMPAS.TV –  Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) sudah beberapa kali menerapkan kebijakan terkait persoalan harga minyak goreng.

Terkini, pemerintah memberlakukan pemenuhan kebutuhan pasar domestik (domestic market obligation/DMO) 20 persen dari nilai ekspor bagi para eksportir CPO.  

Adapun harganya dipatok Rp9.300 per kilogram. Selain itu, pemerintah juga menetapkan harga eceran tertinggi (HET) baru bagi aneka jenis minyak goreng per 1 Februari 2022 ini.

Terkait persoalan minyak goreng ini, diasumsikan pula karena adanya kartel mafia yang bermain. Dalam hal ini, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Oke Nurwan mengatakan, di Kemendag tidak melihat adanya indikasi kartel dari masalah tingginya harga minyak goreng.

“Soal kartel nanti KPPU yang menindaklanjuti kalo itu memang ada. Namun,  pemerinah pada posisi tidak meneliti itu. Fokusnya, saat ini segera mengambil kebijakan untuk menyiapkan harga minyak goreng murah bagi masyarakat,” ujarnya dalam acara Sapa Malam Indonesia Malam Kompas TV, Selasa (1/2/2022).

Lebih jauh, Oke Nurwan menjelaskan, permasalahan ini terjadi karena adanya salah tafsir dari pelaku usaha kelapa sawit yang menerapkan harga lelang di PT Karisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) sesuai harga Domestic Price Obligation (DPO) yakni, Rp9.300 per kilogram.

Baca Juga: DMO & DPO Minyak Goreng Ditetapkan, Produsen Wajib Pasok 20 Persen dari Angka Ekspor ke Dalam Negeri

Harga tersebut adalah harga jual CPO untuk 20 persen kewajiban pasok ke dalam negeri dalam rangka penerapan DMO.

Kebijakan DMO dan DPO tersebut disalahartikan oleh beberapa pelaku usaha sawit yang seharusnya membeli CPO melalui mekanisme lelang yang dikelola KPBN dengan harga lelang, namun mereka melakukan penawaran dengan harga DPO.

Hal tersebut yang akhirnya  membuat kekacauan di antara petani sawit.  Padahal, seharusnya pembentukan harga tetap mengikuti mekanisme lelang di KPBN tanpa melakukan penawaran harga sebagaimana harga DPO.

“Eksportir itu harus membeli dengan harga wajar, tapi 20 persen yang dibelinya itu harus disalurkan ke industri minyak goreng, baik dalam bentuk CPO maupun Palm Olein dengan harga yang ditetapkan pemerintah,” jelas Oke Nurwan.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Gulat Manurung menambahkan, ketidakpastian di saat awal tender CPO-lah yang membuat munculnya dugaan ada permainan mafia kartel.

Kebijakan kewajiban memasok ke dalam negeri atau DMO dan DPO minyak sawit mentah (CPO), olein, dan minyak goreng, akan menekan harga tandan buah segar sawit di tingkat petani.

Dengan kebijakan tersebut maka pabrik kelapa sawit akan menekan harga pembelian Tandan Buah Segar (TBS) ke petani.

Oleh karena itu, kebijakan DMO yang diberlakukan pemerintah dalam meredam melambungnya harga minyak goreng ini dinilai kurang tepat.

 “Saran saya pemerintah fokus ke minyak goreng curah, yang premium biarkan saja tanpa disubsidi. Jangan semua diberikan subsidi. Kalangan menengah ke atas biarkan membeli minyak goreng non subsidi,” sambung Gulat Manurung.

Baca Juga: Ketua DPD Dukung KPPU Bawa Kartel Minyak Goreng ke Ranah Hukum

 

 




Sumber : Kompas TV




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x