JAKARTA, KOMPAS.TV - Ekonomi digital dan dunia kerja fleksibel memberi keuntungan bagi pekerja untuk menavigasi kehidupan kerja dan sosialnya dengan lebih baik.
Hal itu mengemuka dalam deklarasi para menteri ketenagakerjaan negara-negara G-20 (G-29 Labour and Employment Ministers’ Meeting) pada Kamis (24/6/2021) di Catania, Italia.
Sayangnya, menjamurnya pekerjaan gig di perusahaan platform digital menguak isu tentang minimnya perlindungan bagi pekerja. Hal ini menyusul munculnya isu yang banyak mendapat perhatian di Indonesia terkait dinamika pekerjaan digital.
Sekitar dua bulan terakhir, banyak mitra kurir dari sejumlah perusahaan platform digital raksasa yang mengeluh karena skema insentif dan tarif upah diputuskan secara sepihak oleh perusahaan dan menyebabkan pendapatan mereka menurun.
Para pekerja digital itu bekerja tanpa perlindungan hukum karena mereka dianggap sebagai mitra usaha, bukan karyawan.
Meski demikian, kenyataannya mereka tidak diperlakukan selayaknya seorang mitra usaha yang setara dan tak juga mendapat hak dan perlindungan kerja selayaknya karyawan formal sebuah perusahaan.
Baca Juga: Mitra Kurir Protes Insentif Dipangkas, Gojek Kukuh Terapkan Skema Insentif Baru
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar menilai, perkembangan tren pekerjaan digital menuntut adanya regulasi yang relevan untuk mengisi kekosongan hukum itu.
”Dalam konteks pasokan dan permintaan pasar kerja yang tidak seimbang, posisi tawar pekerja mitra sangat lemah dan karena itu harus hadir regulasi dari pemerintah serta peran pengawasannya. Regulasi ini bisa disusun Kementerian Ketenagakerjaan dengan Kementerian Perhubungan,” ujarnya, seperti dikutip dari Kompas.id.
Timboel menyarankan regulasi baru itu mengatur ketentuan standar upah minimum bagi para pekerja digital yang diklasifikasikan sesuai jenis pekerjaan mereka. Seperti diketahui, bentuk pekerjaan digital ada banyak macamnya. Mitra pengemudi daring di platform on-demand hanya salah satu contoh.
Hal lain yang perlu diatur adalah waktu kerja dan waktu istirahat. Sebab, meski pekerjaan digital mengusung jargon fleksibilitas kerja, pada kenyataannya, kelenturan yang dijanjikan itu kerap tidak terjadi. Pekerja lepas digital justru kerap bekerja lebih keras dan tanpa batas waktu dibandingkan pekerja formal pada umumnya.
Timboel menambahkan, regulasi baru juga harus mengatur tentang kewajiban perusahaan digital untuk tetap mendaftarkan para pekerja atau mitranya dalam program jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan serta memberi pekerjanya akses pelatihan untuk meningkatkan keterampilan kerja.
Baca Juga: Driver Dianggap Sebagai Mitra, Dunia Soroti Isu Perlindungan Pekerja Digital
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.