JAKARTA, KOMPAS.TV- Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai, pengenaan PPN pada bahan pangan merupakan kebijakan yang tidak manusiawi. Apalagi, rencana ini dibahas di tengah pandemi Covid-19.
"Wacana ini jelas menjadi wacana kebijakan yang tidak manusiawi, apalagi di tengah pandemi seperti sekarang saat daya beli masyarakat sedang turun drastis," kata Tulus dalam keterangan tertulisnya, dikutip Jumat (11/06/2021).
Menurutnya, pengenaan PPN pada barang pokok yang banyak dibutuhkan konsumen akan menjadi beban baru bagi masyarakat. Lantaran berpotensi menaikkan harga kebutuhan pokok.
"Pengenaan PPN pada bahan pangan juga bisa menjadi ancaman terhadap keamanan pasokan pangan pada masyarakat," ujar Tulus.
Baca Juga: Soal Rencana Kenaikan PPN, Sri Mulyani Sebut PPN Multitarif Lebih Adil
Ia menilai, lebih baik pemerintah kembali menaikkan cukai rokok yang lebih signifikan alih-alih mengenakan PPN pada sembako. Tulus menghitung, potensi penerimaan dari cukai rokok bisa lebih dari Rp200 triliun.
Menaikkan cukai rokok juga akan berdampak positif terhadap masyarakat menengah bawah, agar mengurangi konsumsi rokok dan mengalokasikan untuk keperluan bahan pangan.
"Wacana ini harus dibatalkan. Pemerintah seharusnya lebih kreatif, jika alasannya untuk menggali pendapatan dana APBN," tuturnya.
Hal serupa sebelumnya juga diutarakan Ekonom Indef, Bhima Yudhistira, yang mengatakan masih banyak opsi lain untuk pemerintah menaikkan rasio pajak 8,3 persen.
Baca Juga: Sekolah dan Kursus Juga Akan Kena PPN?
Bhima meminta pemerintah berhati-hati dalam membuat aturan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) serta perluasan objek yang dipungut PPN, seperti sembako.
Lantaran akan berdampak pada turunnya konsumsi masyarakat, terutama golongan menengah ke bawah.
"Bahan pangan itu menyumbang 73 persen terhadap angka kemiskinan. Jadi pemerintah harus berhati-hati, " kata Bhima kepada KOMPAS TV, Rabu (09/06/2021).
Apalagi saat ini konsumsi masyarakat baru saja berada dalam tahap pemulihan setelah dihantam pandemi. Konsumsi rumah tangga juga menjadi komponen penting dalam pertumbuhan ekonomi. Jadi jangan sampai kebijakan fiskalnya justru kontra dengan pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: Ekonom Indef Minta Pemerintah Tanggung PPN Barang Ritel
"Nanti pengaruhnya daya beli masyarakat turun dan angka kemiskinan naik, " ujar Bhima.
Ia menambahkan, pengawasan bahan pangan itu lebih sulit dibanding barang ritel. Karena rantai pasokan pangan yang panjang. Bhima mencontohkan komoditas beras, yang memiliki 7 rantai pasokan dan tiap rantainya melibatkan sektor informal pertanian.
"Jadi akan mahal administrasi pemungutannya. Masih banyak opsi lain yang bisa dilakukan pemerintah untuk meningkatkan rasio penerimaan pajak diatas 8,3 persen, " pungkasnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.