JAKARTA, KOMPAS.TV- Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menilai, keputusan pemerintah untuk mengimpor beras berdasarkan informasi yang salah. Sehingga keputusan yang dihasilkan memicu protes publik.
"Saya tidak tahu informasi seperti apa yang diterima Kemenko Perekonomian. Tapi katanya di sana (Kemenko Perekonomian) dunia akan mengalami krisis pangan pada 2021. Makanya kita harus siap. Jangan nunggu saat butuh baru kelabakan," kata Andreas saat diwawancara Kompas.TV, Rabu (17/03/2021).
Menurut Andreas, kalau pemerintah menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS), seharusnya tidak akan ada keputusan impor di bulan Maret.
Data BPS menyebutkan, ada peningkatan produksi gabah sebesar 26,9% di kuartal I tahun ini, atau sebanyak 3,4 juta ton gabah setara beras.
Baca Juga: Lebih dari 300 Ribu Ton Beras Impor Rusak di Gudang Bulog
"Saya 100% percaya BPS. Data BPS sekarang itu sudah bagus dengan metode yang dipakai sangat bisa diandalkan, " ujar Dwi Andreas yang juga merupakan Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) ini.
AB2TI setiap bulan selalu melakukan survei harga gabah di tingkat usaha atau sentra produksi padi. Akhir 2020 lalu, harga gabah di tingkat usaha sebesar Rp 4.800/kg dan terus menurun hingga Februari 2021. AB2TI memproyeksi, harga gabah di bulan Maret akan anjlok ke level Rp 3.600/kg.
Harga gabah yang terus turun adalah akibat banyaknya pasokan di akhir 2020. Surplus yang menjadi stok awal 2021, ditambah peningkatan produksi padi, hingga akhirnya harga gabah terus merosot.
Baca Juga: Ridwan Kamil: Daripada Impor, Mending Beli Beras Jabar yang Surplus
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian, Musdhalifah Machmud, mengakui perihal surplus beras di tanah air.
Namun menurutnya, surplus hanya terjadi di sentra produksi beras sedangkan wilayah lainnya masih defisit. Sehingga Bulog ditugaskan untuk menyalurkan beras ke daerah yang masih kekurangan.
Sementara Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, keputusan impor beras diambil setelah pemerintah menyalurkan bantuan beras saat PPKM, antisipasi bencana banjir dan pandemi Covid-19.
Namun menurut Dwi Andreas, jika benar ada kebutuhan tambahan, seharusnya diambil dari surplus dalam negeri.
Baca Juga: Ini Alasan Pemerintah Ngotot Impor Beras 1 Juta Ton
"Setiap tahun memang seperti itu, tidak ada yang unik di tahun ini. Itu hanya keputusan yang sudah diambil lalu dipertahankan dengan alasan yang menurut saya nggak masuk akal," imbuhnya.
Ia menyarankan, agar pemerintah menunda impor beras sampai periode Juli-Agustus 2021. Yaitu saat musim panen gadu atau panen kedua setelah panen raya. Saat itu, beras yang dihasilkan sudah tidak terlalu banyak.
Di awal semester kedua, perkiraan produksi dan kebutuhan beras 2021 juga makin akurat. Sehingga jika memang benar pasokan kurang, bisa diputuskan impor. Namun jika surplus, maka tidak perlu impor.
"Pemerintah harus legowo melihat kalau keputusan ini salah. Timing tidak tepat, salah menghitung padahal jelas produksi naik. Kalau terus dipertahankan mati-matian ya jelas di serang banyak orang lah, " tegasnya.
Ia juga mengingatkan para pejabat publik, agar lebih berhati-hati saat membuat pernyataan yang terkait dengan impor. Karena akan langsung mempengaruhi harga.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.