JAKARTA,KOMPAS.TV- “Bu-ibuuu...masih ada cue ancur, tongkol, labu air, sayur asem, wortel kol, boncis, ayam juga ada. Ibu-ibu yang dirahmati Allah, yuk mari dipesan , udah punya ide masak belum, nanti pesanan saya antar ke rumah…,”.
Beginilah rutinitas pesan di grup whatsapp “Lilis Sayur”, sejak lima atau hampir enam bulan terakhir. Di awal pandemi, sekitar pertengahan Maret 2020, Lilis adalah penjaja sayur biasa di bilangan Bekasi Jawa Barat, yang tak cukup melek teknologi. Jangankan membuat grup Whatsapp pelanggan sayurnya, memiliki ponsel pintarpun, bukan prioritas baginya.
Maret dan April, adalah masa terberat lapak rumahan Lilis. Dagangannya jarang laku, padahal dia sudah mengetuk tiap rumah pelanggannya. Malang, sayur mayur yang layu harus dibawa pulang kembali. Rupanya, pelanggan lebih memilih pesan sayur di lapak daring, alias aplikasi penjual sayur untuk menghindari kerumunan dan uang kembalian yang jadi momok penularan corona.
Untungnya cerita kelam itu kini jadi masa lalu, gambaran sederhana saat Indonesia masuk fase resesi terberat. Beda cerita dengan Lilis sekarang, yang sudah mahir mengutak-atik gawai, demi merebut kembali pelanggannya. Padahal katanya Indonesia masih resesi.
Korporasi Raksasa Terketuk Hatinya
Lilis adalah gambaran terdekat tentang bagaimana roda ekonomi, khususnya dunia usaha bertahan di situasi tidak pasti gara-gara pandemi. Coba tengok Starbucks, kedai kopi yang hampir ada di semua penjuru dunia, dan terkenal dengan identitas “kopi-nya kelas atas”. Hanya di Indonesia, gerai sekaliber Starbucks seakan “banting kelas sosial” dengan menjual kopi literan, plus obral harga pula.
Kopi literan adalah cara berjualan yang awalnya dikenalkan oleh pebisnis lokal. Saat situasi normal, jajan di gerai Starbucks untuk segelas kopi ukuran medium dan satu slice keik (cake), mungkin anda merogoh uang sampai Rp 120 ribu. Tetapi sekarang, dengan nominal yang sama, konsumen bisa membawa kopi sampai 2 liter dengan varian rasa berbeda. Kami ulang, dua liter.
Starbucks bukan satu-satunya bermanuver merangkul konsumen. Pertama dalam sejarah global, restoran kelas dunia yang punya jaringan ribuan outlet, yaitu Pizza Hut, akhirnya menggelar lapak “tenda kaki lima”. Itu hanya terjadi di Indonesia. Tak usah bingung, tatkala Anda menjumpai penjaja Pizza Hut berada jauh dari outlet resmi, hanya berbekal sepeda motor dan payung untuk berteduh. Satu jinjing tas, berisi 4 pan pizza dengan harga dibanderol tak sampai Rp 100 ribu.
“Berbagai strategi yang diterapkan pengusaha di tengah pandemi adalah naluriah yang harus dimiliki pebisnis,” kata Rhenald Kasali, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia kepada KompasTV.
Cara bertahan menjalankan bisnis, yang patut mendapat apresiasi.
Tak Manja, Tapi Pikirkan Jangka Panjang
Menurut Rhenald, belajar dari pandemi, kini pebisnis dituntut memiliki sense of crisis, sehingga mampu memetakan strategi jangka pendek maupun jangka panjang untuk bertahan.
Starbucks dan Pizza Hut, mungkin hanya sebagian kecil contoh, cerminan saat pemilik usaha tak bermanja hanya mengharap insentif pemerintah, sekaligus tak gegabah melakukan PHK karyawannya. Yang dilakukan bukan remedi dari sakit, seperti saat krisis 1998 atau 2008. Restoran besarpun berani berendah hati menyadari, sebaik-baiknya bisnis saat ini adalah bertahan.
Tetapi menurut Rhenald, mandiri dan tak manja tak cukup untuk bertahan. Ada poin-poin yang harus menjadi perhatian pebisnis jika ingin bertahan jangka panjang selama pandemi. Diantaranya lihai memanfaatkan teknologi, mampu beradaptasi terhadap perubahan, cekatan mengubah kelemahan jadi kekuatan dan bijak mengasumsikan strategi.
“Yang dilakukan merk-merk besar dengan turun ke jalan, menawarkan dagangan adalah solusi jangka pendek. AirAsia menawarkan daging kambing “aqiqah”an. Hotel menawarkan kamarnya untuk isolasi mandiri dan catering. Tetapi bagi bisnis, hitungan untuk bertahan adalah strategi apabila pandemi masih terjadi selama 4 atau 5 tahun lagi. Pengusaha harus menghitung jangka waktu ini,” tutur Rhenald.
Kembali ke Lilis Sayur, apa perbedaan dan persamaan lapak rumahan dengan restoran sekaliber dunia? Bedanya hampir tidak ada, karena sama-sama dilakukan untuk bertahan. Persamaan yang menarik adalah, baik lapak kelas rumahan dan gerai dengan ribuan jaringan, semakin dekat ke konsumen. Jemput bola, dan mari bertepuk tangan kagum, mereka tetap melakukan protokol kesehatan dengan memakai masker. (Dyah Megasari)
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.