Rencana pemerintah Indonesia membatasi pengunjung Candi Borobudur dengan memasang tarif sebesar Rp750.000 bagi wisatawan domestik yang ingin naik ke area stupa candi telah memicu perbincangan terkait kondisi fisik monumen Buddha terbesar di dunia tersebut.
Sejak selesai dipugar pada 1983, ditambah penetapan statusnya sebagai situs warisan budaya dunia oleh UNESCO pada 1991, jumlah pengunjung Candi Borobudur terus bertambah.
Pada 2018, Candi Borobudur dikunjungi oleh 3,66 juta wisatawan, kemudian meningkat menjadi pada 3,94 juta pengunjung pada 2019. Penurunan drastis jumlah wisatawan menjadi 996.000 orang baru terjadi pada 2020 akibat pandemi.
Berbagai kajian dan literatur menunjukkan bahwa aktivitas manusia telah berdampak langsung pada keausan batu struktur penyangga Candi Borobudur. Hal ini juga disampaikan oleh Ketua Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia, Marsis Sutopo.
Beragam upaya pun telah dilakukan untuk mengkonservasi Candi Borobudur, mulai dari membatasi area yang bisa dimasuki pengunjung, menggunakan kayu sebagai pelapis pijakan wisatawan, hingga merancang sandal khusus untuk digunakan pengunjung demi menekan laju keausan.
Baca juga:
Sejarawan asal Inggris yang mendalami sejarah Jawa kuno, Peter Carey mengatakan penting untuk mengambil langkah yang melindungi struktur Candi Borobudur.
"Tidak mungkin orang bisa naik dengan tangga yang asli, harus ada struktur yang bisa mengalihkan wisatawan untuk melihat monumen tanpa merusaknya," kata Carey kepada BBC News Indonesia.
Candi Borobudur sendiri memiliki rekam jejak sejarah hingga belasan abad sejak pertama kali didirikan. Candi ini pernah menjadi monumen keagamaan yang merepresentasikan Dinasti Syailendra, ditinggalkan akibat letusan dahsyat Gunung Merapi, hingga ditemukan kembali dan direstorasi.
Candi Borobudur diperkirakan dibangun sekitar Abad ke-8 dan ke-9 Masehi di era Dinasti Syailendra yang merupakan penganut agama Buddha Mahayana.
Menurut sejarawan Peter Carey, Candi Borobudur pada masa itu menjadi monumen agama, sebagai tempat kontemplasi yang juga menggambarkan perjalanan sang Buddha, sekaligus menjadi simbol hubungan antara raja dan rakyatnya.
Sampai saat ini, belum ditemukan sumber-sumber tertulis yang menyebutkan secara pasti kapan Candi Borobudur dibangun serta berapa lama proses pembangunannya. Oleh sebab itu, usia Candi Borobudur tidak dapat ditentukan secara pasti.
Para ahli memperkirakan candi ini dibangun pada abad ke-8. Perkiraan itu berdasar pada analisis paleografis terhadap tulisan yang terpahat di atas relief Karmawibangga -relief yang menggambarkan sebab akibat perbuatan baik di kaki Candi Borobudur—dibandingkan dengan tulisan pada prasasti lain yang telah diketahui penanggalannya.
Candi Borobudur dibangun menggunakan dua juta batu andesit yang berasal dari sungai di sekitar wilayah candi.
Balai Konservasi Borobudur menyebutkan bahwa susunan bangunan Candi Borobudur terdiri dari sembilan teras berundak dan sebuah stupa induk di puncaknya. Sembilan teras itu terdiri dari enam teras berdenah persegi dan tiga teras berdenah lingkaran.
Menurut legenda, Candi Borobudur didirikan oleh arsitek bernama Gunadharma, tetapi secara historis hal itu belum diketahui secara pasti.
Sedangkan sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya yang diterbitkan pada 1950 memperkirakan pendiri Candi Borobudur adalah Smaratungga yang memerintah pada tahun 782-812 pada masa Dinasti Syailendra.
Tetapi menurut Casparis, pembangunan Borobudur memakan waktu hingga setengah abad dan baru selesai pada masa putrinya, yakni Ratu Pramudawardhani.
Arkeolog asal belanda, W.F. Sutterheim menyebutkan bahwa Candi Borobudur dihiasi dengan lebih dari 2.500 panel relief dan 504 patung. Kubah pusatnya memiliki 72 patung yang berada di dalam stupa.
Guru Besar dari Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, I Gede Mugi Raharja menuliskan dalam makalahnya bahwa arsitektur Candi Borobudur merupakan perpaduan antara filosofi Buddha dengan budaya Nusantara.
Bentuk arsitekturnya yang setengah bola tersusun atas tiga tingkatan, yakni Kamadhatu yang dipenuhi relief manusia dipenuhi hawa-nafsu, kemudian Rupadhatu yang menggambarkan manusia memerangi hawa nafsunya namun masih terikat dengan unsur duniawi.
Sedangkan pada tingkat ketiga, Arupadhatu, tidak lagi dihiasi dengan relief-relief sebagai wujud tidak terikat dengan unsur duniawi.
Candi Borobudur, tulis Raharja, juga mengacu pada kosmologi Nusantara yang berorientasi ke gunung dengan pola bangunan punden berundak.
Dikutip dari kajian Balai Konservasi Borobudur, Candi Borobudur kemungkinan sudah tidak terpelihara sejak abad ke-10 Masehi, ketika pusat kegiatan berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur akibat terjadi letusan gunung Merapi yang dahsyat pada tahun 1006.
Berbagai literatur menyebut bahwa candi ini baru diketahui kembali keberadaannya oleh Thomas Stamford Raffles pada 1814, yang saat itu menjabat sebagai gubernur jenderal di Jawa, pada masa kependudukan Inggris.
Publikasi UNESCO berjudul The Restoration of Borobudur menjabarkan bahwa Raffles mengutus HC Cornelius, untuk meneliti informasi tersebut. Namun yang dia temukan adalah sebuah bukit yang ditumbuhi pepohonan dan semak belukar.
Cornelius merekrut 200 orang warga desa sekitar untuk menebangi pohon dan menyingkirkan semak-semak. Penggalian itu berlangsung selama dua bulan, tetapi beberapa bagian tidak bisa digali karena berpotensi runtuh.
Sejak 1817 hingga seterusnya penggalian skala kecil dilakukan, tetapi hasilnya tidak pernah tercatat.
Baru pada 1834, bangunan candi terlihat setelah residen di wilayah Kedu pada saat itu, CL Hartmann membersihkan secara menyeluruh.
Sejarawan dan arkeolog Soekmono, dalam bukunya berjudul Satu Abad Usaha Penyelamatan Candi Borobudur (1991) menyebutkan bahwa upaya pemotretan relief Borobudur mulai dilakukan pada 1845 oleh juru foto bernama Schaefer.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.