Kasus kematian seorang warga Parigi Moutong yang tewas ditembak aparat kepolisian saat demo menolak perusahaan tambang di daerahnya menjadi bukti bahwa penyelesaian konflik agraria di Indonesia selalu dilakukan dengan "pendekatan keamanan" yang "represif", menurut Jaringan Advokasi Tambang dan Konsorsium Pembaruan Agraria.
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyebut kejadian di Parigi Moutong bukan tidak mungkin terjadi di daerah lain yang memiliki konflik serupa.
"Jadi ini bom waktu sebetulnya karena pemerintah sudah banyak mengeluarkan perizinan, gejolak sudah terjadi di mana-mana," kata Kepala Kampanye Nasional JATAM Melky Nahar.
Pada 2021, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat konflik agraria akibat pertambangan mengalami kenaikan signifikan sebesar 167% dibanding tahun sebelumnya.
Kepolisian mengakui ada anggotanya yang melakukan pelanggaran dan akan menindak tegas aparat yang bersalah, tapi masalah ini cukup sering terjadi.
Dari sisi korban yang terdampak, jumlahnya juga naik drastis. Konflik agraria di sektor pertambangan berdampak 161.136 kepala keluarga, 81% dari keseluruhan konflik agraria pada 2021 yang berdampak pada 198.859 kepala keluarga.
Baca juga:
Salah satu warga Kecamatan Tinombo Selatan Parigi Moutong, Jaka (bukan nama sebenarnya), mengatakan penolakan terhadap PT Trio Kencana, yang mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) sejak 2010, sudah dilakukan sejak 2011, 2012, dan 2019 lalu.
Penolakan dilakukan karena mereka khawatir sumber air bersih mereka yang masuk ke wilayah konsesi tambang akan hilang.
Pada 2020, warga kembali berdemo karena mereka mendapatkan kabar bahwa IUP PT Trio Kencana akan diperpanjang.
Berdasarkan data Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), izin PT Trio Kencana sudah diperpanjang sampai 27 Agustus 2040.
Dalam rentang periode itu, Jaka mengatakan masyarakat tidak pernah dimintai pendapatnya tentang kehadiran perusahaan penambang emas tersebut.
"Saya dari tahun 2008 di sini, selama ini kami tidak pernah diundang bahwa akan ada perusahaan masuk, tidak pernah ada. Ini kan tiba-tiba langsung terbit IUP-nya. Eh, kapan mereka sosialisasi? Tiba-tiba keluar IUP-nya, amdal langsung ada," kata Jaka kepada BBC News Indonesia.
Menanggapi protes warga Parigi Moutong, Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Mastura mengatakan sebenarnya pihaknya berencana mendengarkan aspirasi warga dan menyampaikan ke pemerintah pusat.
Namun, karena gubernur tak kunjung datang dan mengulur kedatangannya, warga akhirnya berunjuk rasa memblokade jalan dan terjadi penembakan oleh aparat.
"Memang nanti kita ada usulan rakyat, saya paling menyurat ke departemen, minta penciutan. Rakyat yang tidak setuju dikeluarkan karena IUP sudah ada. Saya tidak punya hak mencabut, yang punya hak departemen, semua sudah dicabut pusat," kata Rusdy kepada wartawan pada Minggu (13/2).
Dia juga mengaku sudah mengirim tenaga ahlinya untuk menemui warga, sebelum dirinya bisa menemui warga secara langsung.
Ketua Kampanye JATAM Melky Nahar mengatakan seluruh proses pengambilan kebijakan terkait penerbitan IUP tidak pernah melibatkan warga, seperti yang terjadi juga di Wadas, pulau Wawoni, Halmahera, dan Morowali.
Melky mengatakan semuanya berlangsung di ruang tertutup antara pemerintah dan perusahaan yang mengajukan izin.
"Sehingga ketika perusahaan masuk ke suatu daerah untuk memulai operasi yang mereka lakukan hanya sosialisasi, tidak dalam konteks apa warga setuju kalau tambang masuk. Makanya muncul resistensi. Di mana pun tambang hadir pasti akan muncul resistensi dari warga setempat karena tiba-tiba kampungnya masuk konsesi tambang, seperti yang di Parigi Moutong, sawah warga juga masuk, dan seluruh prosesnya sama sekali tidak diketahui oleh warga," kata Melky.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.