Secara terpisah, Kapolda Jawa Tengah Inspektur Jenderal Ahmad Luthfi membantah tuduhan-tuduhan atas tindakan represif anggotanya.
Menurut Luthfi, ada 250 personil yang dikerahkan ke Desa Wadas tapi dengan tujuan mendampingi petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengukur lahan warga yang telah setuju membebaskan tanahnya.
"Tidak ada ribuan polisi, hanya 250 personil yang diterjunkan untuk mendampingi 10 tim dari BPN," ujar Luthfi.
Dia juga membantah ada pengepungan warga di masjid dan yang dilakukan oleh anak buahnya adalah 'mengamankan situasi'.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga mengklaim bahwa pengukuran hanya dilakukan pada lahan warga yang setuju dan pihaknya telah membuka ruang untuk dialog bagi warga yang menolak.
"Kami tidak akan masuk kepada mereka yang belum sepakat, untuk menghormati mereka dengan sikapnya. Itu lah kenapa kami sangat prudent. Itu lah kenapa kami sangat hati-hati," kata Ganjar.
Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan penolakan sebagian warga terkait proyek Bendungan Bener tidak berpengaruh secara hukum terhadap status proyek itu, sebab gugatan warga telah ditolak di PTUN hingga pada putusan kasasi di tingkat Mahkamah Agung.
"Artinya program pemerintah sudah benar sehingga kasusnya sudah lama inkarah atau berkekuatan hukum tetap," kata Mahfud melalui konferensi pers, Rabu (09/02).
Selain itu, dia mengklaim dokumen terkait analisis dampak lingkungan (amdal) dari proyek ini juga tidak bermasalah. Oleh sebab itu, pemerintah akan melanjutkan pengukuran tanah di lokasi.
"Kegiatan pengukuran tanah oleh petugas Kanwil Jawa Tengah akan tetap dilanjutkan dengan pendampingan, pengamanan terukur melalui pendekatan persuasif dan dialogis," ucap dia.
Satrio Manggala dari Walhi berpendapat bahwa status Proyek Strategis Nasional pada Bendungan Bener menjadi dalih atas pengerahan aparat yang berujung pada tindakan represif, serta 'membungkam suara kritis warga yang menolak'.
"Mereka menggunakan status PSN ini sebagai cover saja atas tindakan kekerasan mereka, sebagai pembenar saja," kata Satrio.
Padahal, Peraturan Presiden Nomor 109/2018 itu tidak melegitimasi keterlibatan aparat pada proyek-proyek strategis nasional.
"Itu menyelewengkan posisi Perpres itu sendiri, padahal tidak ada pasal yang menyebutkan eksplisit dan implisit bahwa polisi bisa dapet mengerahkan kekuatan berlebihan," ujar dia.
Menurut Walhi, kejadian serupa juga terjadi pada sejumlah proyek strategis nasional lainnya seperti Bandara Kulonprogo, Bandara Kertajati, serta Bandara Kualanamu.
"Pada beberapa kasus akhirnya menimbulkan ketakutan dan trauma tersendiri di masyarakat. Mereka yang tadinya bersuara, memberontak atas ketidakadilan melalui kanal yang dijamin Undang-Undang akhirnya pasrah, berharap pada siapa lagi di Indonesia?" kata Satrio.
Alih-alih mencapai tujuan pemerataan infrastruktur, Satrio mengatakan proyek strategis nasional justru menimbulkan konflik dan persoalan baru.
Menurut catatan Walhi hingga 2021, sebanyak 13% dari 60 konflik lingkungan hidup terjadi pada proyek strategis nasional.
Sosiolog dari PMB-BRIN, Henny Warsilah mengatakan tindakan polisi yang represif dan sempat sampai menangkap puluhan warga berpotensi melanggar HAM.
Penolakan masyarakat, kata dia, semestinya tidak direspons dengan pendekatan keamanan. Penolakan warga juga bisa dimaklumi mengingat lahan yang terdampak adalah sumber penghidupan mereka.
"Masyarakat tidak melakukan apa-apa, cuma protes, itu hal yang wajar. Kalau Pak Ganjar bilang itu mengukur tanah, tidak perlu mengerahkan ratusan aparat," kata Henny.
"Ini membuat masyarakat shock, makin mengental penolakannya, makin tidak percaya dengan pemerintah," lanjut dia.
Alih-alih menggunakan tindakan represif, Henny meminta pemerintah menggunakan pendekatan dialog, dengan bahasa yang disesuaikan dengan budaya setempat.
Selain itu, pemerintah juga seharusnya tidak hanya memikirkan sebatas ganti rugi atas pembebasan lahan, namun menjamin keberlanjutan sumber penghidupan masyarakat.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.