Anis Hidayah dari Migrant Care mengatakan rehabilitasi semestinya tidak menjadi alasan bagi bupati Langkat untuk mempekerjakan orang-orang tersebut secara sewenang-wenang.
"Kalau keterangan Polda mengatakan ini rehab narkoba, bisa jadi dugaannya ini kedok ya untuk bisa memanfaatkan mereka, mempekerjakan secara sewenang-wenang, tanpa gaji, tanpa perlindungan sosial, bahkan ada dugaan penyiksaan. Itu kan perbudakan," kata Anis kepada BBC News Indonesia.
"Kami terima dokumentasi itu ada yang lebam, kemudian dikerangkeng gitu setelah bekerja. Itu kan perilaku yang keji dan tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia. Walaupun rehabilitasi, tidak boleh ada perlakuan yang merendahkan, yang mengandung kekerasan, itu adalah pelanggaran HAM," lanjut dia.
Sementara itu, keluarga dari salah satu korban yang berada di dalam kerangkeng tersebut, Muhammad Fauzi, mengaku adiknya yang bernama Muhrifan Affandi "dibina dengan fasilitas gratis yang meringankan beban keluarga".
Salah satu warga lainnya yang pernah dikerangkeng, Jefri Sembiring membantah ada penyiksaan selama menjalani 'rehabilitasi'. Jefri juga mengaku tidak pernah bekerja di kebun sawit milik Bupati langkat.
"Kalau saya tidak pernah," kata Jeffri.
"Cuci baju, bersih-bersih tempat itu (kerangkeng), itu saja setiap hari," ungkap dia.
Terkait pengakuan tersebut Peneliti ICJR, Maidina Rahmawati berpendapat keterangan itu tidak bisa menjadi pembenaran atas tindak kriminal yang dilakukan.
"Pastikan dulu seluruh korban tidak mengalami intimidasi dalam keterangannya," kata Maidina.
"Penempatannya saja tidak manusiawi, ada unsur eksploitatif, ya paling tidak kondisi kerja tidak layak tetap bisa diusut," lanjut dia.
Sejumlah wartawan di Langkat mengatakan banyak warga dan wartawan sendiri yang takut berbicara soal kerangkeng dan aktivitas bupati.
Berdasarkan fakta yang terungkap sejauh ini, Pakar hukum Ninik Rahayu mengatakan apa yang terjadi di rumah Bupati Langkat adalah bentuk 'perbudakan pada manusia' sehingga sudah semestinya dijerat dengan UU TPPO.
Menurut Ninik, tindakan itu bisa dikatakan eksploitatif karena ada ketimpangan relasi kuasa antara Bupati Langkat dengan para pecandu narkoba yang berada dalam posisi rentan dan tidak bisa menolak pemaksaan kerja.
"Walaupun itu diatasnamakan dengan memberikan rehab, tetapi kan tidak sesuai dengan (rehabilitasi) yang seharusnya dilakukan. Tujuannya adalah mengeksploitasi korban, sedangkan korban tidak punya pilihan lain, tenaganya dipakai. Jadi ini ada perbudakan pada manusia," papar Ninik.
Dia juga mengatakan persetujuan keluarga korban tidak dapat menghilangkan tindak kriminal yang dilakukan oleh pelaku.
"Karena tanda tangan yang diberikan itu diberikan dalam kondisi yang tidak setara antara pelaku dengan korban. Korban dalam kondisi tidak ada pilihan lain kecuali mengiyakan apa yang diinginkan pelaku," tuturnya.
Baca juga:
Senada dengan Ninik, Peneliti ICJR, Maidina Rahmawati mengatakan tindakan yang diklaim sebagai 'rehabilitasi' oleh Bupati Langkat tersebut tidak memenuhi standar dan ketentuan yang berlaku menurut Undang-Undang Narkotika.
Apalagi dengan temuan bahwa orang-orang tersebut dipekerjakan secara berlebihan dari pagi hingga malam dan diberi tempat istirahat berupa kerangkeng yang tidak layak.
"Di Undang-Undang Narkotika itu ada sembilan bentuk kegiatan (terkait rehabilitasi), itu terkait proses adiksi, ada vokasional, tapi enggak dalam konteks eksploitatif. Sifatnya hanya dalam konteks pelatihan, bukan mempekerjakan dengan ada profit di dalamnya," jelas Maidina.
Selain TPPO, ICJR menilai bupati Langkat juga bisa dijerat tindak pidana jabatan atas penyalahgunaan wewenang yang terjadi.
Misalnya menggunakan Pasal 421 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur bahwa penyalahgunaan kekuasaan yang memaksa seseorang melakukan sesuatu sehingga merampas kemerdekaan mereka.
"Sebelum polisi mengatakan bahwa ada persetujuan (keluarga korban) yang seolah membenarkan tindakan ini, dari awal seharusnya ini tidak boleh terjadi karena bupati tidak punya kewenangan," ujar Maidina.
Sementara itu, Ninik Rahayu menegaskan bahwa seorang bupati tidak memiliki wewenang untuk menahan dan membatasi ruang gerak seseorang. Penahanan semestinya menjadi kewenangan lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan.
Rehabilitasi narkoba pun, kata dia, tidak bisa dilaksanakan secara sewenang-wenang.
"Pecandu narkoba sistem rehabilitasinya kan ada tata caranya, enggak sekedar orang ditahan. Bentuk pelatihan yang diberikan harus sesuai dengan penyembuhan dan rehabilitasi. Kalau tidak ada kewenangan di situ itu sudah merupakan kejahatan karena melampaui kewenangan yang seharusnya mereka lakukan," ujar Ninik.
*Kontributor Medan, Dedi Hermawan, berkontribusi dalam tulisan ini.
Artikel ini merupakan hasil liputan BBC Indonesia yang ditayangkan juga di Kompas.TV
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.