Komnas HAM menemukan lebih dari satu orang tewas karena tindak kekerasan saat berada di dalam kerangkeng Bupati nonaktif Langkat Terbit Rencana Parangin-angin.
"Dan bagaimana kondisi jenazah, kami dapat keterangan dari lebih dari dua saksi. Jadi firm [terkonfirmasi], kekerasan terjadi di sana, korbannya banyak," kata Anggota Komnas HAM, Choirul Anam dalam keterangan melalui rekaman video kepada media, Minggu (30/01).
Selain itu, Komnas HAM juga mengatakan menemukan istilah-istilah kekerasan yang digunakan dalam kerangkeng tersebut.
"Misalnya seperti MOS, Gas, atau 2,5 Kancing, ada istilah-istilah seperti itu dalam konteks kekerasan," tambah Anam.
Dalam proses penyelidikan, Komnas HAM mengatakan kerangkeng di rumah Terbit disebut masyarakat sebagai tempat rehabilitasi pengguna narkotika. Namun, rehabilitasi tersebut tak punya izin, alias ilegal.
Choirul Anam juga mengatakan temuan tentang dugaan adanya korban jiwa akibat kekerasan selama proses 'rehabilitasi' ini cocok dengan penyelidikan kepolisian Sumatera Utara.
Ia berharap kepolisian, "Menaikkan ini menjadi satu proses hukum. Karena memang dekat sekali dengan peristiwa pidana."
Pekan ini, Komnas HAM juga berencana menggali keterangan dari ahli terkait kecurigaan kerangkeng manusia di rumah Terbit sebagai wadah "perbudakan modern".
Pihaknya juga berencana memeriksa Terbit Parangin-angin terkait kerangkeng manusia di rumahnya.
Baca juga:
Sebelumnya, sejumlah pakar pidana menyatakan Bupati nonaktif Langkat, Terbit Rencana Perangin-Angin, dapat dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dalam kasus dugaan perbudakan terkait penemuan kerangkeng manusia di rumahnya.
Menurut Pakar hukum sekaligus mantan anggota Ombudsman, Ninik Rahayu, apa yang dilakukan Terbit telah memenuhi unsur eksploitasi karena diduga mempekerjakan pecandu narkoba dengan jam kerja yang tidak layak, tanpa diupah, hingga ditempatkan dalam kerangkeng yang tidak manusiawi.
Selain itu, penempatan mereka di kerangkeng yang 'tidak layak' dan membatasi ruang geraknya dianggap sebagai "bentuk penyiksaan".
Tetapi, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan menyampaikan bahwa puluhan orang yang dia sebut sebagai "warga binaan" tersebut berada di dalam kerangkeng atas persetujuan keluarga untuk "direhabilitasi" akibat kecanduan narkoba dan melakukan kenakalan remaja.
"Para penghuni tersebut diserahkan oleh keluarganya kepada pengelola untuk dibina. Mereka diserahkan dengan membuat surat pernyataan," kata Ramadhan melalui konferensi pers di Jakarta, Selasa (25/01).
Meski demikian, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati berpendapat bahwa persetujuan keluarga korban tidak serta merta menghilangkan penuntutan atas praktik perdagangan orang yang terjadi.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.