Kompas TV kolom opini

Layakkah Kita Merayakan Idul Adha?

Kompas.tv - 31 Juli 2020, 23:20 WIB
layakkah-kita-merayakan-idul-adha
Ratusan jemaah Muslim mengelilingi Kabah, bangunan berbentuk kubus di Masjid Al Haram, sembari menerapkan jaga jarak sosial untuk melindungi diri dari virus corona, di kota suci Muslim di Makkah, Arab Saudi, Rabu, 29 Juli, 2020.(AP/STR) (Sumber: Kompas.com)

Oleh Abd Rohim Ghazali, Direktur Eksekutif Maarif Institute

Setiap Idul Adha tiba, kita diingatkan pada sejarah Ibrahim dan putranya, Ismail. Menurut Jerald F. Dirks dalam buku “Abraham, The Friend of God”, Ibrahim meninggalkan istrinya Hajar, dan putranya Ismail, di lembah terpencil di Makkah, sekitar sebelas atau dua belas tahun lamanya.

Ada kerinduan Ibrahim yang luar biasa untuk bertemu mereka, tapi istri pertamanya, Sarah --yang meminta Hajar dan Ismail diusir dari Palestina-- melarangnya. Sementara kondisi fisiknya juga sudah mulai melemah karena usianya sudah mendekati 99 tahun. Sarah tidak yakin jika Ibrahim pergi ke Makkah, apakah ia bisa kembali lagi kepadanya. Setelah mendengar keluh kesah Sarah, dengan ditemani dua pembantunya, Ibrahim menuju Makkah dengan menempuh perjalanan beberapa bulan lamanya.

Ketika Ibrahim tiba, suasana Makkah sudah sedikit berbeda. Yang sebelumnya tandus kini ada aliran air yang melimpah dari Sumur Zam Zam. Di sekelilingnya ada kebun dan ladang yang menghasilkan buah-buahan dan palawija. Selain Hajar dan Ismail, sudah ada beberapa penduduk lain yang mendirikan perkemahan dan bahkan sebagian sudah membangun tempat tinggal secara permanen. Mereka berasal dari suku Yorhamit yang sengaja bermigrasi ke lembah itu.

Tak bisa dibayangkan bagaimana kegembiraan Ibrahim saat bertemu dengan Hajar dan Ismail yang sudah berusia 13 tahun. Tapi pada saat Ismail beranjak dewasa dan mengikuti jejak ayahnya sebagai Rasul (penyebar risalah Allah), Ibrahim menerima wahyu di mana ia diperintahkan untuk menyembelih Ismail! (QS,  37: 102).

Ibrahim merasa wahyu yang ia terima melalui mimpi itu sangat aneh dan menakutkan. Ada kegalauan yang luar biasa, apakah perintah itu harus ia laksanakan atau tidak. Setelah menanyakan pada putranya, di luar dugaan, sang putra tidak meragukan sama sekali dengan apa yang diwahyukan Allah pada ayahnya. Ismail menyatakan siap untuk menderita, bersabar, dan tabah dalam kepatuhan pada Allah. Ia meminta ayahnya  menjalankan perintah Allah untuk mengurbankan dirinya.

Dengan putus asa dan duka mendalam, Ibrahim harus menekan perasaan dan egonya untuk menyembelih putra yang sangat dicintainya. Tapi pada saat pisau yang tajam diayunkan ke udara dan siap-siap disayatkan ke leher Ismail yang sudah dibaringkan, tiba-tiba terdengar suara yang membuat tangan Ibrahim terhenti dengan kaku dan nyawa Ismail terselamatkan. Pada saat itulah Ibrahim melihat seekor domba tersangkut di semak-semak yang ia bebaskan dan menggiringnya ke tempat altar penyembelihan. Domba itulah yang kemudian dikurbankan sebagai pengganti nyawa anaknya, Ismail.

Kalau bercermin pada suasana batin yang tergambar pada kisah ini, rasanya kita belum layak merayakan Idul Adha, karena belum sampai pada tahap seperti Ibrahim yang bisa menekan perasaan dan egonya untuk mengurbankan putra yang sangat dicintainya. Atau seperti Ismail yang dengan penuh keikhlasan dan kesabaran rela dikurbankan sebagai bukti kepatuhan pada Allah.

Idul Adha 1441 H ini kita lalui dalam suasana yang berbeda. Perbedaan itu disebabkan karena pandemi Covid-19 yang alih-alih diprediksi akan mereda, malah semakin merajalela. Jika benar-benar ingin meneladani Ibrahim dan Ismail, sudah seharusnya kita berkorban untuk membantu mereka yang terdampak Covid-19.

Walaupun belum mampu mengurbankan apa yang paling kita cintai, setidaknya kita bisa berusaha semaksimal mungkin agar apa pun yang kita kurbankan, bisa disertai dengan keikhlasan. Kurban bukan untuk pencitraan, apalagi sebagai sarana meraih kekuasaan. Wallahu a’lam!



Sumber : Kompas TV

BERITA LAINNYA



Close Ads x