Saya melihat langsung bagaimana aktivitas debt collector, bagaimana mereka bekerja di lapangan, potensi bergesekan dengan kelompok lain yang dibayar untuk menjaga, dan kelamnya dunia hitam mereka.
Kasus John Kei, seolah membuka mata. Premanisme masih ada dan terkadang merajalela. Senjata api mereka kuasai, 7 tembakan mereka muntahkan, dan pedang panjang, mereka gunakan. Sampai saat ini, Polisi masih terus mencari keberadaan senjata api yang digunakan. Tak kurang sang "Godfather of Jakarta" begitu warga dunia maya menyebutnya, ditahan bersama puluhan anggota kelompoknya. Pasal yang dikenakan tidak main - main, selain pasal pengeroyokan, ada pula pasal pembunuhan berencana. Delik pembunuhan berencana berada di nomor pasal 340 dalam Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini merupakan pasal yang penghilangan nyawa seseorang yang paling pamungkas. Ancaman hukuman maksimalnya; Mati !
Kitab Pasal Pembunuhan Paling Pamungkas
Pasal tersebut berbunyi; "Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun.
John Kei, terancam pasal ini. Meski demikian ia melalui pengacaranya yang saya wawancara pada program SAPA INDONESIA MALAM, hari Selasa, 23 Juni 2020 mengaku tidak terlibat pada perencanaan pembunuhan yang belakangan mengakibatkan kerabat Nus Kei, Yustus Corwing Rahakbauw alias Erwin tewas secara brutal, dilukai dengan senjata tajam sebelum dilindas dengan mobil minibus yang dikendarai kawanan ini.
Kasus Pribadi tapi Menyimpan Trauma Abadi
Kasus pribadi antara John Kei dengan Pamannya yang kebetulan seusia, Nus Kei, yang berujung pada pembunuhan menyebabkan 1 orang tewas, 3 orang terluka, termasuk Satpam dan pengendara Ojek Online yang terkena tembakan senjata api di dekat rumah Nus Kei di kawasan Cipondoh, Tangerang, Banten, masih berproses.
Tapi bagaimana agar peristiwa tak berulang, dan membuat para mereka merajalela berbuat onar, jadi pertanyaan. Kasusnya memang pribadi, tapi trauma bagi warga, abadi.
Ada banyak kelompok serupa yang ada di Kota besar, mayoritas di Jabodetabek. Punya dunia hitam yang sama, tapi tak semua dari mereka berujung nista. Ada pula yang berbenah, menata hidup lebih tenteram, sadar hukum, dan sopan meski seram.
Satu Darah !
Saya mengunjungi mereka di sebuah tempat di Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Marsyel Ririhena nama pimpinan mereka. SATU DARAH nama organisasinya. Ada banyak unit usahanya. Tidak hanya jasa satuan pengamanan (satpam) resmi dengan seragam safari, klub olahraga bela diri profesional yang masuk dalam program TV terkenal, hingga jasa penagihan utang (Debt Collector).
Saat saya datang ke markas perkumpulan mereka, ada sejumlah pemuda berbadan tegap, berperawakan besar, mayoritas dari mereka berasal dari etnis Timur Indonesia. Meski ada pula yang berasal dari Madura, Jawa Timur. Meski bertampang sangar, dan bertato hampir di seluruh tubuh, satu hal yang saya perhatikan, mereka tetap santun terhadap warga yang lalu lalang. Tak jarang mereka yang menegur terlebih dahulu, terhadap warga asli di daerah Jakarta Selatan itu.
Melihat Suasana Perkumpulan
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.