KOMPAS.TV - Peristiwa rasisme ataupun diskriminasi menjadi evaluasi penting bagi negara dalam merespons dan menangani persoalan Papua. Termasuk dalam menampung aspirasi serta tuntutan mahasiswa Papua di mana pun mereka berada.
Tindakan-tindakan yang terjadi Agustus 2019 lalu di sejumlah kota seperti di Surabaya, Malang, Semarang, Manokwari, dan Sorong, harus dihentikan dan diproses secara hukum untuk memastikan ketidakberulangan.
Begitu juga adanya jaminan perlindungan hak asasi manusia, persamaan di depan hukum, kesetaraan dan keadilan bagi mahasiswa serta rakyat Papua.
Baca Juga: #PapuanLivesMatter Sempat Mencuat, Sejumlah Tokoh Papua Bersuara
Wakil Bupati Asmat Thomas Eppe Safanpo mengungkapkan, rasisme muncul karena ada sikap superioritas dari kelompok tertentu terhadap kelompok yang lain berdasarkan perbedaan warna kulit, etnis, agama, maupun lainnya.
Oleh karena itu, dia menolak segala bentuk rasisme terhadap orang maupun kelompok tertentu.
"Indonesia ini kan bangsa yang Bhinneka Tunggal Ika yang berati bersatu di dalam keberagaman. Rasisme memang ada, tetapi cara menyikapi penolakan terhadap rasisme tidak harus dengan kerusuhan, poinnya itu di situ," katanya saat diskusi webinar bertajuk Papua Dalam Keberagaman Indonesia yang digelar KOMPAS TV, Senin (15/6/2020).
Menurut dia, yang terpenting juga adalah aparat penegak hukum harus berindak tegas mengusut pelaku rasis.
"Jadi memang perlu ada tindakan penegakan hukum untuk mencegah perilaku rasisme agar tidak muncul di kemudian hari," sambungnya.
Baca Juga: KPAI Sebut 680 Ribu Siswa di Papua Tidak Akses Internet
Persoalan Pendidikan
Bukan hanya itu, Thomas juga menyoroti persoalan pendidikan yang terjadi di tanah cenderawasih tersebut.
Sebab, pendidikan sering kali menjadi pemicu timbulnya rasisme maupun diskriminasi terhadap orang Papua.
Menurut dia, persoalan pendidikan di Papua itu bukan karena di Papua kekurangan perguruan tinggi. Namun persoalan pendidikan yang paling utama di Papua itu adalah terkait dengan pendidikan dasar dan menengah.
Sebab, lanjutnya, masih banyak anak-anak di Papua yang lulus SD, SMP, SMA, lalu jadi mahasiswa, namun ternyata tata bahasanya kacau balau. Bahkan sebagian tidak bisa membaca hanya bisa mengeja.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.