JAKARTA, KOMPAS.TV - Rancangan pemerintah menjembatani pekerja untuk memiliki hunian melalui tabungan perumahan rakyat, ditanggapi beragam.
Kalangan pelaku usaha merasa tak perlu ada iuran tambahan sebagai pungutan tapera. Masih ada fasilitas lain yang bisa dimaksimalkan.
Ekonomi masih terseok akibat pandemi, tetapi beban pikiran penggerak usaha terus bertambah.
Asosiasi Pengusaha Indonesia, terang-terangan menyatakan keberatan, dengan rencana pemerintah menarik iuran tabungan perumahan rakyat.
Jika, aparatur sipil negara wajib menyetor iuran tapera mulai awal tahun depan, karyawan swasta memiliki batas waktu lebih panjang.
Namun, bagi Apindo, seharusnya, penyediaan rumah bagi pekerja bisa memaksimalkan fasilitas di BP Jamsostek.
Iuran tapera akan ditarik sebesar 3 persen dari gaji atau upah peserta pekerja.
0,5 persen diantaranya, harus dibayarkan oleh pemberi kerja. Sedangkan sisanya, adalah tanggung jawab pekerja.
Iuran tapera nantinya semakin menggerus pendapatan karyawan.
Saat ini, ada potongan gaji yang ditanggung bersama oleh pemberi kerja dan karyawan, yakni, BPJS kesehatan, sebesar 5 persen, jaminan hari tua, 5,7 persen, jaminan pensiun BPJS ketenagakerjaan, 3 persen.
Dan PPH 21 bagi pekerja dengan penghasilan di atas 4,5 juta rupiah per bulan.
Pemerintah diingatkan akan potensi tumpang tinding penggunaan dana tapera, yang berfungsi untuk membeli, membangun, atau merenovasi rumah.
Momentum pelaksanaan tapera pun harus tepat, menimbang daya beli.
20 Mei lalu, pemerintah merilis peraturan pemerintah terkait penyelenggaraan tapera.
Dengan prinsip tabungan wajib gotong royong dari pekerja, tapera ditargetkan mampu menjawab kebutuhan hunian.
"Backlog" rumah serta kebutuhan hunian menjadi bahan pertimbangan.
Dana tapera akan dikelola khusus oleh badan pengelola tapera.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.