Oleh: Budiman Tanuredjo
Tagar #IndonesiaTerserah mewarnai jagat media sosial. Tagar bernuansa satire itu dengan cepat berubah menjadi isu politik. Dalam video yang viral, tampak seseorang mengenakan alat pelindung diri medis berteriak-teriak di jalan. ”Saya lelah. Saya lelah. Silakan kalian ke luar semua.”
Itulah potret kita pekan ini. Tagar satire #IndonesiaTerserah harus dibaca sebagai kritik bagi semua; pemerintah dan masyarakat. Masyarakat yang mengabaikan imbauan pemerintah. Masyarakat yang justru berkerumun seperti terjadi dalam perpisahan gerai restoran cepat saji di Jalan Thamrin, Jakarta. Kerumunan juga terjadi di Bandara Soekarno- Hatta dan tempat umum lainnya.
Sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan dua warga negara Indonesia positif Covid-19, 2 Maret 2020, bangsa ini diombang-ambingkan ketidakpastian. Tenaga medis berjibaku menyelamatkan korban yang meningkat dengan alat pendukung seadanya. Petugas medis lelah. Bangsa ini juga lelah. Wajar jika lalu muncul #IndonesiaTerserah sebagai protes atas kekonyolan warga yang tetap kumpul- kumpul, mengabaikan protokol kesehatan, dan mengentengkan Covid-19. Meski mudik dilarang, arus mudik terjadi. Harian ini menulis judul: ”Mobilitas Warga Tak Terkendali”.
Berada di ”penjara” rumah setelah dua bulan menjadi bosan, suntuk, dan jenuh. Sementara gelombang PHK terjadi. Ekonomi sulit karena tak ada perputaran uang. Mudik Lebaran jadi peristiwa kultural yang terpaksa dilakoni saat bertahan di Jakarta pun tak mungkin dijalani karena tak lagi punya kerjaan.
Tagar #IndonesiaTerserah ialah protes atas keadaan negeri ini. Protes atas ketidakdisiplinan. Protes atas pembangkangan. Protes atas kurangnya koordinasi dan kekompakan elite. Dan, boleh jadi protes atas kepemimpinan di negeri ini. Namun, sejarah bangsa menunjukkan ada kekenyalan masyarakat sipil. Berbagai krisis bisa dilalui.
Bangsa Indonesia tak boleh apatis terhadap Covid-19. Jangan pasrah dan terserah. Tetaplah berkontribusi meskipun kontribusi itu berupa kritik dan masukan. Kritik adalah oksigen bagi demokrasi. Indonesia tak boleh menyerah dengan keadaan. Indonesia harus menyesuaikan diri dengan keadaan baru atau yang disebut ”normal baru”. Melihat data Gugus Tugas Covid-19, optimisme menjadi muncul. Jumlah relawan yang mau bekerja bertaruh nyawa cukup besar. Ada 30.121 relawan yang berjuang dalam operasi kemanusiaan. Dari jumlah itu, relawan medis ada 7.123 orang dan lainnya relawan non-tenaga kesehatan.
Sosiolog Imam Prasodjo mengirim pesan kepada saya. Dalam huruf besar, Imam menulis, ”WARNING, MARI BERHARAP YANG TERBAIK, SIAPKAN YANG TERBURUK”. Sosiolog itu menulis, ”menyiapkan pola kehidupan dalam new normal tentu baik saja. Namun, jangan sampai melalaikan kita untuk fokus menyiapkan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi dalam hari-hari ke depan. Sungguh dampak sangat buruk dapat terjadi bagi bangsa ini bila kita gagal mengantisipasi”.
Mobilitas warga yang tak terkendali adalah potensi bahaya besar. Kegagalan bangsa ini memutus rantai penularan virus Covid-19 akan membuat derita bangsa ini berkepanjangan. Namun, setiap ada challenge tentu menuntut respons. Bagaimana otoritas di pusat dan di daerah memaksa warganya mengikuti protokol kesehatan. Bagaimana perjumpaan warga dalam mudik Lebaran atau mudik lokal dikelola tanpa menghilangkan kekhusyukan Lebaran. Penapisan harus dilakukan. Disiplin kuncinya.
Rakyat perlu berdisiplin. Untuk mendisiplinkan diri, tak perlu sampai penerapan darurat sipil atau malah darurat militer karena itu bisa mengancam demokrasi. Namun, pada sisi lain, pemerintah juga perlu berbenah diri. Tak perlu memproduksi narasi multitafsir, seperti ”berdamai”, ”berperang”, ”mudik”, dan ”pulang kampung” yang membingungkan. Mudik dilarang, tapi moda transportasi disiapkan. Setiap kebijakan yang diambil hendaknya berdasarkan data tervalidasi dan sudah dibahas detail cara pengomunikasiannya. Jangan pula sesuatu yang masih wacana dilepas kepada publik karena akan membingungkan. Komunikasi dalam krisis harus lebih jelas, tegas, dan pasti. Teks tak boleh dilepaskan dari konteks.
Sebagai negara dermawan, emosi publik masih bisa diketuk untuk menolong sesama. Selain pembatasan sosial berskala besar, dibutuhkan juga kerja sama sosial berskala besar. Kolaborasi pemerintah dan masyarakat (dunia usaha) berskala besar untuk beradaptasi dengan situasi normal baru. Kolaborasi menanggulangi pandemi, dan kolaborasi untuk menggerakkan ekonomi.
Emosi publik bisa disentuh untuk membantu sesama, bukan dipancing dengan pernyataan politisi seperti ini; DPR akan percepat pembahasan RUU Cipta Kerja, sehingga harus dilakukan di masa reses. Rakyat sudah dicampakkan dengan pengesahan RUU Minerba. Jangan kembali dicampakkan dengan RUU Cipta Kerja. Agar soliditas bangsa terjaga.
Indonesia jangan pasrah dan jangan pernah menyerah. Selamat Idul Fitri 1441 H. Mohon maaf lahir dan batin.
Artikel ini telah tayang di KOMPAS Sabtu, 23-05-2020. Halaman: 03, dengan judul "Indonesia (Jangan) Terserah."
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.