Kompas TV nasional berita kompas tv

Tumpang Tindih Kebijakan Covid-19 di Kabinet Jokowi - Opini Budiman Eps. 9

Kompas.tv - 21 Mei 2020, 13:58 WIB
Penulis : Laura Elvina

Oleh: Budiman Tanuredjo

Lama tak berkabar. Pada Rabu, 6 Mei 2020 pukul 15.36, purnawirawan TNI itu berkirim kabar lagi. Kami memang sering mendiskusikan situasi kebangsaan. Pensiunan TNI itu mengirim tautan artikel dari sebuah portal berita. Judulnya ”Berubah Lagi, Sekarang Semua Transportasi Boleh Dipakai Mudik”. Saya meresponsnya, ”Kok, maju mundur, ya.” Dan, dijawabnya, ”Amatiran banget.”

Isu soal larangan mudik sudah ditegaskan Presiden Joko Widodo. Keputusan itu diikuti larangan beroperasi semua moda transportasi umum. Harian Kompas, 24 April 2020, menulis dengan judul tegas: ”Jabodetabek Ditutup”. Keputusan yang diambil Presiden Jokowi itu diikuti pembatasan semua moda transportasi umum keluar dan masuk Jabodetabek dan wilayah lain yang telah menetapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Pada hari yang sama, pukul 18.32, dikirim lagi kabar dari portal berita yang sama. Judulnya ”Istana Luruskan Pernyataan Menhub soal Izinkan Lagi Transportasi Beroperasi”. Sumber beritanya Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian. Perbedaannya pada titik tekannya, mudik tetap dilarang, kecuali sejumlah penumpang dengan syarat tertentu. Mewakili Istana, Donny mengatakan, mudik tetap dilarang. Pengoperasian moda transportasi itu bersyarat untuk tenaga  kesehatan, angkutan logistik, dan petugas kepolisian. Semua diikuti dengan protokol kesehatan.

Baca Juga: Tersapu Badai Revolusi Senyap - Opini Budiman Eps. 8

Penjelasan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi  di Komisi V DPR sebenarnya juga sudah menyebutkan ada kriteria penumpang yang boleh bepergian dengan kriteria yang disusun Kementerian Kesehatan dan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Kekalutan komunikasi dan informasi  terjadi. Ketua Gugus Tugas Covid-19 Letnan Jenderal Doni Monardo memberi keterangan dalam jumpa pers, 6 Mei 2020.  Intinya, Doni menegaskan, ”Mudik  dilarang. Titik.” Kalimat itu diucapkan Doni dua kali. ”Mudik dilarang. Titik!” Doni juga menyebutkan pengecualian diberikan dengan syarat-syarat  ketat sesuai  protokol kesehatan.

Dalam masa krisis seperti sekarang ini, komunikasi menjadi penting. Bahkan, teramat penting. Selain berperang melawan virus korona baru yang menyebabkan penyakit Covid-19, bangsa ini juga berperang melawan coronavirus-infodemic. Seperti dikatakan Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, misinformasi tentang Covid-19 harus ditangani. Pemerintah harus menjadi otoritas komunikasi yang kredibel dan bisa dipegang.

Namun, justru di situlah kekurangan pemerintahan Presiden Jokowi. Sinyal yang dikirim saling silang dan kadang saling bertabrakan.  Beberapa menteri yang tidak terkait berbicara bukan dalam bidangnya. Akhirnya, kebingungan terjadi. Posisi ini dengan mudah ”digoreng” pemain media sosial.

Baca Juga: Soal RUU Cipta Kerja, Presiden Jokowi Dengarlah Suara Rakyat - Opini Budiman Eps. 7

Komentator medsos menafsir dengan liar perbedaan nuansa komunikasi para menteri. Ada tudingan menteri pro investasi, tetapi tidak pro keselamatan orang. Ada analisis menyebutkan ada persaingan di kalangan  menteri. Ada kecurigaan di dalam kabinet, khususnya menteri yang berlatar belakang partai politik.

Meminjam istilah yang sering dipakai wartawan senior Jakob Oetama, berkomunikasi dalam masyarakat yang tidak tulus memang susah. Kondisi masyarakat sekarang ini masih terjebak dalam polarisasi biner, ”pemuja berlebihan” atau ”pembenci berlebihan”. Pengikut aliran ”lockdown” atau ”PSBB”. Pengikut ”keselamatan jiwa” atau ”keselamatan ekonomi”. Situasinya memang  tidak tulus. Terlebih dalam situasi masyarakat era post-truth. Kebenaran bukan ditentukan dengan pertimbangan data, melainkan keyakinan atau posisi politik masing-masing.

Coronavirus-infodemic membuat masyarakat cemas. Jajak pendapat Litbang Kompas pada pertengahan April menunjukkan kecemasan itu. Saat ini yang terjadi ialah saling menyalahkan. Pemerintah dianggap terlambat dan tidak jujur. Sebaliknya, rakyat dituding bandel tidak ikuti PSBB. Padahal, perang melawan Covid-19 adalah perang semesta.

Baca Juga: Indonesia Tidak Kebal Corona - Opini Budiman Eps. 2

Mendayung di antara dua karang tentu jadi tak mudah. Sebagian media terjebak perburuan clickbait. Namun, di tengah realitas masyarakat yang tidak tulus itulah, seni berkomunikasi jadi penting. Komunikator harus orang yang punya otoritas, punya  karisma, dan kompeten di bidangnya serta bisa menjelaskan dengan data yang bisa divalidasi. Pesan yang mau disampaikan harus jelas, tegas, dan terang, tanpa improvisasi berlebihan yang berpotensi off-side.

Simpang siur informasi juga terjadi ketika beredar paparan slide dari satu kementerian. Paparan kementerian tentang rencana pembukaan kembali sejumlah tempat umum mulai awal Juni 2020. Slide beredar luas dan belum ada penjelasan resmi dari kementerian terkait. Sebelumnya, beredar berita pemerintah akan melakukan relaksasi ekonomi. Namun, kemudian diluruskan lagi oleh pihak lain.

Dalam situasi anarki informasi sekarang ini, satu-satunya kepastian adalah ketidakpastian itu sendiri. Komunikasi berbasis data yang jujur dan mengedepankan sains perlu menjadi pegangan agar bisa menang melawan Covid-19. Kalkulasi epidemiologi harus lebih dikedepankan daripada pertimbangan politik.

Saatnya Presiden Jokowi melakukan konsolidasi internal, menata kembali jalur komunikasi. Pada Orde Baru selalu ada pertemuan informal dengan para pembentuk opini  untuk mengukur dampak komunikasi. Kebiasaan itu  hilang.  Publik membaca ada rivalitas dan saling kunci sehingga tak semuanya mulus. Situasi ini memengaruhi kredibilitas pemerintah. Namun, tetaplah optimistis! Tak perlu mudik. Titik!



Sumber : Kompas TV

BERITA LAINNYA



Close Ads x