BANJARMASIN, KOMPAS.TV -
Gusti Jamhar Akbar merupakan seniman senior yang masih mempertahankan Lamut sebagai seni bertutur khas masyarakat Banjar. Pria yang akrab disapa Kai Jamhar, kini sudah jarang tampil di atas panggung.
Wajahnya kini nampak penuh kerutan. Suaranya tak lagi kencang saat melantunkan syair-syair Lamut yang biasa ia sajikan sembari memukul gendang di pementasan bertahun-tahun silam.
"Sekarang tak bisa lama-lama memainkan Lamut. Mungkin karena faktor usia. Apalagi kadang sakit-sakitan," katanya saat ditemui kompas.tv di rumahnya di Gang Mujahid, Kelurahan Alalak Selatan, Banjarmasin.
Wajar saja. Usianya kini sudah terpaut tua. Tepatnya berumur 77 tahun. Kendati demikian, Kai Jamhar mengaku masih setia memainkan Lamut sejak berusia 13 tahun.
Dengan mengenakan peci dan kaos putih, Kai Jamhar menceritakan, bahwa kepiawaiannya dalam memainkan Lamut ini diwariskan dari sang ayah yang bernama Rasmono.
Saat itu, Kai Jamhar acapkali menghayati syair-syair yang dipentaskan sang ayah. Hingga dirinya menggantikan posisi ayahnya dan menjadi pelamutan paling muda di zamannya.
"Dulu ayah memang sempat ragu. Tapi saya berusaha meyakinkan beliau," ucapnya.
Sepanjang tahun 1960 hingga 1980 menjadi masa kejayaan Lamut yang dipentaskannya. Bahkan, setiap pekan dirinya tak kunjung absen pentas. Ini mengingat banjirnya undangan dari para warga yang kepalang senang dengan penampilannya.
Diusianya yang kini sudah terpaut tua, KAI Jamhar justru berada dirudung kegelisahan. Ya, Lamut yang sudah turun temurun diwariskan sang ayah nampaknya diambang punah, lantaran tak ada regenerasi.
Berkali-kali ada generasi muda yang ingin belajar menjadi pelamutan, justru tak tuntas sampai akhir. Bahkan sulit menangkap isi cerita.
"Dulu pernah ada mahasiswa, bahkan dari sekolah di Banjarbaru dan Marabahan untuk diajari memainkan Lamut. Tetapi mereka tak pernah ada yang berhasil. Mereka kadang asyik dengan gadgetnya. Sehingga tidak fokus untuk mendalami isi dari cerita yang disampaikan Lamut," tuturnya.
Terancamnya seret regenerasi menjadi atensi budayawan Mukhlis Maman yang seringkali mangkir di Taman Budaya Banjarmasin. Mukhlis yang akrab disapa Julak ini menyebut Lamut bagaikan hidup segan mati tak mau, lantaran jarangnya tampil di pementasan.
Bukan tanpa alasan, hal ini lantaran tergerusnya situasi kondisi masyarakat yang sudah beralih pada aktifitas teknologi, sehingga tradisi ini seakan kurang diminati.
Ditambah lagi, agenda kegiatan kebudayaan dari pemerintah yang hanya melihat dan fokus pada sisi menarik atau tidaknya pementasan yang disajikan untuk masyarakat.
"Sangat disayangkan. Tokohnya saja sudah tidak terlalu kuat untuk tampil. Apalagi minimnya regenerasi," cetusnya.
Meski begitu, Lamut kini mulai dikampanyekan kembali oleh mahasiswa yang mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Pendidikan PGRI Banjarmasin.
Sebagai wujud kepedulian pelestarian kesenian, mereka merekam kisah Lamut yang dibawakan Kai Jamhar dan divisualisasikan dalam bentuk sendratari kolosal dengan mengusung judul Maurak Maandung Lamut Bujang Maluala.
Tentunya peran dan kepedulian seperti inilah yang mesti digaungkan agar kesenian Lamut tidak diambang punah dari Bumi Antasari, Kalimantan Selatan, bahkan sejarah seni budaya masyarakat Indonesia.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.