SUMBAWA, KOMPAS.TV - Salam Jelajah
Belda Zando masih melanjutkan penjelajahannya di pulau kecil di Sumbawa. Ya, Pulau Bungin di Kecamatan Alas, Kabupaten Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat, punya julukan sebagai pulau terdapat di dunia. Bukan di Indonesia dan Asia saja. Di pulau ini nyaris tidak ada lahan kosong, seluruh daratannya dipenuhi rumah-rumah penduduk. Kepadatan penduduk pula membuat Pulau Bungin tidak memiliki garis pantai, karena sepanjang pesisir pulaunya seluruhnya dibangun menjadi tempat tinggal. Pulau ini memiliki luas 8,5 hektar dengan jumlah penduduk 3.400 jiwa. Warga yang hendak membangun rumah baru, harus mereklamasi pulau dengan menguruk lautan dengan karang. Akibat bertambahnya rumah, ukuran Pulau Bungin pun semakin bertambah luas dari waktu ke waktu. Akibat lahan yang terbatas, ada beberapa keluarga yang terpaksa harus hidup dalam satu atap. Di rumah keluarga Bapak Mabsu, tinggal 12 orang dari 4 keluarga.
Bungin itu dalam bahasa Bajo artinya gundukan pasir putih, dulu merupakan gundukan saja, tapi kemudian ketika dua orang akan dipersatukan mereka membangun rumah dengan batu karang. Pulau ini dulu hanya merupakan hamparan pasir putih, tetapi kemudian mereka membangun rumah di atas karang seiring dengan bertambahnya penduduk.
Di pesisir Pulau Bungin, Belda Zando, bertemu dengan pasangan muda, Zaenal dan istrinya, yang sedang membangun rumah di atas laut dengan cara reklamasi. Mereka memesan batu karang untuk pondasi kepada Majiu, warga yang pekerjaan sehari-harinya mencari karang di laut. “Kalau membuat rumah di sini tidak perlu beli tanah. Tinggal pilih lokasi di laut, kemudian bikin gundukan lalu tandai dengan bendera. Selanjutnya uruk dengan batu karang dan bangun rumah di atasnya,” kata Zaenal. Selanjutnya, Belda naik perahu mengikuti aktivitas Bapak Majiu, yang mencari batu karang di laut. Lokasinya di lautan dangkal sekitar 20 menit dari Pulau Bungin. Berbekal palu dan linggis, Majiu turun ke air setinggi pinggangnya. Ia kemudian memukul linggisnya untuk memecah karang di dalam air. “Ini karang yang sudah mati, bukan tempat ikan hidup. Pekerjaan ini sangat berat, tapi daripada tidak ada pekerjaan lain. Sementara anak-anak harus sekolah,” jelas Majiu yang sudah berusia sekitar 60 tahun.
Karang yang pecah diangkut ke perahunya. Batu karang satu perahu dijual Rp 50 ribu. Dalam sehari Majiu bisa 4 kali mengangkut karang.
Satu kegiatan yang menjadi budaya warga suku Bajo dan menjadi ciri khas mereka ketika mendirikan rumah adalah gotong royong. Bila ada warga yang akan mendirikan rumah, maka para tetanggalah yang menjadi tukang. Tidak dibayar alias gratis, karena mendirikan rumah warga di Pulau Bungin berarti panggilan untuk bekerja sukarela yang memang telah dilakukan turun temurun.
Penasaran bagaimana batu karang dikumpulkan hingga membuat daratan yang kemudian didirikan rumah di atasnya?
Bagaimana pula gotong royong mendirikan rumah warga Pulau Bungin yang dikerjakan keroyokan ini?
Tonton videonya ya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.