ISTANBUL, KOMPAS.TV - Tiga kandidat akan bertarung untuk kursi presiden Turki hari Minggu (14/5/2023), ketika lebih dari 60 juta pemilih akan pergi ke tempat pemungutan suara untuk pemilihan presiden. Sebanyak 24 partai politik dan 151 kandidat independen akan bersaing untuk 600 kursi.
Seperti laporan Daily Sabah, Sabtu (13/4/2023), pemilihan tahun ini dianggap penting baik bagi Partai Keadilan dan Pembangunan (AK Party) yang berkuasa maupun bagi oposisi.
Kubu oposisi yang terdiri dari enam partai merupakan pesaing terkuat Presiden petahana Recep Tayyip Erdogan dalam lebih dari satu dekade terakhir, bahkan jajak pendapat mengatakan Erdogan di ujung tanduk.
Oposisi yang diwakili oleh pemimpin Partai Rakyat Republik (CHP) Kemal Kilicdaroglu melihat ini sebagai kesempatan terakhir untuk mengalahkan Erdogan, yang mendominasi lanskap politik sebagai perdana menteri dan presiden selama bertahun-tahun.
Selain Kilicdaroglu dari Aliansi Rakyat, Erdogan akan bersaing dengan Aliansi Ata, yang terdiri dari partai-partai nasionalis kecil yang mencalonkan akademisi Sinan Ogan.
Muharrem Ince, satu-satunya kandidat tanpa aliansi, mengundurkan diri dari kompetisi hari Kamis (11/5/2023), meskipun namanya akan tetap ada di surat suara yang diberikan pada hari Minggu.
Erdogan maju sebagai kandidat presiden untuk Aliansi Rakyat, atau "Cumhur ttifak " seperti yang dikenal dalam bahasa Turki. "Cumhur" di sini berasal dari "cumhurba kan ," yang berarti "presiden rakyat" dalam bahasa Turki, dan mengacu pada gelar resmi presiden.
Selain AK Party, aliansi ini terdiri dari Partai Gerakan Nasionalis (MHP), sekutu lama AK Party, Partai Persatuan Besar (BBP), yang dibentuk oleh mantan pendukung MHP, dan Partai Kesejahteraan Baru (YRP) yang dipimpin oleh Fatih Erbakan, putra dari mendiang Perdana Menteri Necmettin Erbakan, yang merupakan mentor Erdogan.
Partai HÜDA-PAR dan Partai Kiri Demokratik (DSP) juga mendukung aliansi ini, dengan para pemimpin kedua partai tersebut mencalonkan diri di bawah bendera AK Party dalam pemilihan parlemen.
Baca Juga: Profil Kemal Kilicdaroglu, Politikus Oposisi Turki yang Berpeluang Putus Dominasi Politik Erdogan
Pemimpin berusia 69 tahun, yang berasal dari keluarga asli dari wilayah Laut Hitam di utara, lahir di Istanbul, di mana ia tumbuh di lingkungan kelas pekerja, sebagai anak dari orang tua dengan penghasilan sederhana.
Terpesona dengan politik sejak masa muda, Erdogan adalah anggota aktif serikat mahasiswa nasionalis.
Kemampuan beroratorinya dan kesetiaannya membuat Erdogan disenangi gerakan Pandangan Nasional dari Necmettin Erbakan, seorang politikus yang pernah menjabat sebagai perdana menteri dalam pemerintahan koalisi dan pemimpin partai-partai dengan basis konservatif.
Politisi lokal yang karismatik ini terpilih sebagai kandidat untuk menjadi kepala pemerintahan kota. Ia didukung oleh Partai Kesejahteraan (RP) Erbakan pada tahun 1994.
Kemenangan yang luar biasa di mana ia memperoleh lebih dari 25% suara melawan kandidat-kandidat partai sayap kiri dan sayap kanan yang selama ini mendominasi politik Istanbul, merupakan langkah pertama dalam menjadikan Erdogan nama yang dikenal oleh masyarakat.
Namun, tugasnya sangat sulit: meningkatkan kondisi kota terpadat di Turki, yang menghadapi berbagai masalah dari warisan pemerintahan sebelumnya, seperti kekurangan air yang kronis.
Prestasinya dalam jabatan tersebut membantu popularitasnya meningkat, tetapi Erdogan, bagi lawan-lawannya, masih dianggap sebagai "konservatif agama dengan agenda tersembunyi".
Pada saat pemerintahan menghadapi kudeta oleh militer yang kuat yang tidak senang dengan ideologi "reaksioner" Erbakan, sebuah puisi yang tampak "reaksioner" membuat Erdogan masuk penjara pada tahun 1999, dua tahun setelah ia membacakan "Doa Prajurit" karya Ziya Gökalp, seorang nasionalis Turki terkemuka, kepada kerumunan yang penuh emosi.
Ia menjalani hukuman penjara selama empat bulan dan kehilangan jabatannya sebagai Wali Kota Istanbul.
Baca Juga: Turki Laksanakan Pemilu Presiden dan Parlemen Hari Minggu, Ini Lawan Paling Berat Erdogan
Tidak gentar, Erdogan melanjutkan karier politiknya dalam lingkungan pasca-kudeta, bergabung dengan rekan politik yang berencana mendirikan gerakan "demokrasi konservatif" baru.
Gerakan tersebut, hasil pemikiran Erdogan dan orang-orang dari Pandangan Nasional serta partai-partai Erbakan dan orang-orang yang terasing oleh politik pasca-kudeta, berkembang menjadi Partai AK.
Di bawah kepemimpinan Erdogan, Partai AK memperoleh mayoritas parlemen dalam pemilihan umum tahun 2002 dengan memperoleh lebih dari 34% suara, hasil yang mengejutkan untuk sebuah partai yang baru muncul di kancah politik.
Sumber : Daily Sabah
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.