JAKARTA, KOMPAS.TV – Kecilnya dana untuk partai politik yang diberikan oleh negara menyebabkan mereka lari ke sumber dana ilegal untuk membiayai demokrasi.
Pendapat itu disampaikan oleh pengamat politik Philips J Vermonte, dalam Satu Meja The Forum, Kompas TV, Rabu (29/3/2023).
Menurutnya, yang harus dipikirkan dalam persoalan-persoalan pendanaan politik ini, adalah apakah parpol dan masyarakat bersedia mendanai melalui dana negara.
“Apakah partai-partai politik dan msayarakat bersedia mendanai melalui dana negara. Hari ini, dana itu begitu kecilnya buat partai politik, karena itu mereka lari ke tempat-tempat yang ilegal,” tuturnya.
Philips mengatakan, jika kita tidak bersedia membiayai demokrasi, dikhawatirkan muncul perspektif bahwa demokrasi tidak diperlukan karena biayanya mahal.
Baca Juga: Mahfud MD Ungkap 3 Praktik Korupsi yang Marak, dari Bea Cukai , Perpajakan Hingga DPR!
“Kalau kita tidak bersedia membiayai demokrasi, maka kemudian perspektifnya menjadi jangan-jangan enggak perlu demokrasi, karena dianggap mahal. Tapi ini kewajiban untuk membiayai demokrasi.”
Hal penting lainnya yang harus diperhatikan dalam pendanaan politik, lanjut Philips, adalah tidak ada lagi pihak yang bersedia menjadi oposisi.
Semua ingin turut berkuasa, karena mereka mengetahui bahwa ada keuntungan yang bisa diambil saat menjadi penguasa.
“Atau, yang kedua, tidak terjadi oposisi, karena semua mau ikut berkuasa, karena mereka tahu, ketika berkuasa ada resources.”
“Ini yang saya kira harus dipecahkan oleh kita. Ada beberapa model di negara lain, kayak Jerman dan sebagainya, itu dia sangat menyubsidi partai politik,” lanjutnya.
Dalam dialog itu, Philips juga menyebut bahwa pernah ada riset bahwa pilkada dan kenaikan pemberian lisensi-lisensi tambang dan lain-lain berjalan seiring.
“Karena itu, berarti mungkin sebetulnya di situ dia legal. Tetapi sebetulnya yang terjadi adalah terjadi semacam down payment dari sektor-sektor yang akan mendukung kekuasaan. Nah ini yang saya kira juga penyakit kita.”
Berkaitan dengan transaksi keuangan mencurigakan sebesar Rp349 triliun, menurutnya harus diusut, karena ini menjadi momentum pembersihan.
Baca Juga: Beda Data Transaksi Janggal di Kemenkeu Rp3,3 T Vs Rp35 T, Manakah yang Harus Dipercaya?
Jika tidak dilakukan, menurutnya kita akan kehilangan momentum, terlebih penegak hukum saat ini sedang tercoreng.
“Karena penegak hukum hari ini juga sedang tercoreng. Orang bagaimana mau percaya dengan penegak hukum kalau kita biarkan sekarang, enggak ada yang percaya lagi juga dengan penegak hukum yang kaitannya dengan soal-soal keuangan ini.”
“Menurut saya, ini harus dibuka, dan ada yang dihukum dan kita tahu jadi momentum pembersihan, baik untuk DPR maupun penegak hukum,” tegasnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.