JAKARTA, KOMPAS.TV – Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengajak untuk melawan habis-habisan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menghukum Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menunda tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Mahfud berpendapat, jika putusan itu dilaksanakan, akan berbahaya dan mengakibatkan kekacauan.
“Kalau saya akan mengatakan, itu berbahaya, dan saya akan mengajak melawan habis-abisan,” tuturnya dalam Satu Meja The Forum, Kompas TV, Rabu (8/3/2023).
“Habis-habisan itu, secara hukum KPU kita dukung sepenuhnya naik banding, untuk sekadar memenuhi formalitas dan menyadarkan hakim pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung.”
Dalam dialog itu, Mahfud juga menyebut bahwa sejak berita putusan penundaan pemilu tersebut meledak, dirinya mendapat sejumlah serangan melalui aplikasi Whatsapp.
Baca Juga: Jokowi Dukung KPU Ajukan Banding atas Putusan PN Jakarta Pusat Soal Penundaan Pemilu 2024
“Jadi begini, ketika berita itu meledak, berbagai pihak itu menyerang masuk ke WA saya, ada yang menelepon bahwa ini kerjaan pemerintah dan sebagainya, dituduh pemerintah ini yang melakukan rekayasa.”
“Saya katakan, kalau pemerintah, ya saya yang mewakili urusan ini. Kita menolak ini, enggak akan melakukan rekayasa tentang ini,” jelasnya.
Saat ditanya, apakah ada jaminan bahwa pengajuan banding oleh KPU akan membatalkan putusan PN Jakarta Pusat? Mahfud mengatakan, dalam asumsi hukum tidak boleh ada jaminan semacam itu.
“Dalam asumsi hukum tidak boleh ada jaminan-jaminan gitu, kita perjuangkan saja habis-habisan. Enggak ada yang bisa menjamin, kalau hakimnya kena gila, nanti kan susah juga.”
Pada kesempatan itu, Mahfud juga menyebut penundaan Pemilu 2024 akan menimbulkan kekacauan yang luar biasa dan tidak terbayangkan.
Menurutnya, jika putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat soal penundaan tahapan pemilu dilaksanakan, maka kekacauan akan terjadi, sebab Indonesia akan mengalami kekosongan kepemimpinan nasional.
“Ada satu yang lebih berbahaya, itu akan menimbulkan kekacauan yang luar biasa yang tidak terbayangkan,” tuturnya.
“Karena begini, jika betul karena putusan pengadilan pemilu harus ditunda, pada tanggal 21 Oktober (2024) kan Indonesia kekosongan kepemimpinan nasional, karena pada saat itu Pak Jokowi dan kabinetnya sudah bubar, 21 Oktober.”
Kekosongan kepemimpinan nasional tersebut, lanjut Mahfud, tidak bisa diisi dengan keterapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) seperti dulu.
Sebab, saat ini MPR tidak punya kewenangan yang sifatnya mengatur.
“Jadi itu harus mengubah konstitusi. Mengubah konstitusi itu prosedurnya rumit, harus diajukan oleh minimal 1/3, saat sidang pertama harus dihadiri oleh ¾ anggota MPR, dan nanti sesudah itu akan terlihat, paling tidak 3 fraksi menyatakan tidak hadir di situ, sudah lebih dari 25 persen.”
“Berarti ini kacau, MPR tidak bisa membuat keputusan, misalnya ya, sementara pemerintahan sudah akan kosong tanggal 21 Oktober.”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.