JAKARTA, KOMPAS.TV – Ketersediaan infrastruktur Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dan Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU) masih terbatas. Padahal sarana tersebut harus seimbang untuk bisa mendorong masyarakat menggunakan kendaraan listrik.
Permasalahan ini menjadi salah satu yang disoroti oleh Ombudsman RI yang telah melakukan kajian soal regulasi dan implementasi kendaraan listrik.
Anggota Ombudsman RI Hery Susanto menyebutkan, berdasarkan data dari Kementerian ESDM, jumlah keseluruhan SPBKLU ada 346 unit dengan sebaran masih terpusat di kota besar dan kota penyangga.
Nahasnya, kondisi infrastruktur maupun sarana dan prasarana kendaraan listrik itu ditemukan ada beberapa yang rusak dan tidak berfungsi.
"Jika dibiarkan dan tidak diantisipasi, maka hal ini akan menimbulkan problem tersendiri yang semakin membuat kebijakan penggunaan kendaraan listrik tidak diminati dan mengalami banyak kendala," katanya dalam Konferensi Pers “Rapid Assesment: Pengawasan Pelayanan Publik Penggunaan Kendaraan Listrik Berdasarkan Regulasi dan Implementasi", Selasa (14/2/2023).
Baca Juga: Akan Bagaimana Limbah Baterai Kendaraan Listrik? Ini Kata Ombusdman RI dan Peneliti BRIN
Menurut Hery, meski pemantauan SPKLU yang rusak dapat dilihat melalui PLN Mobile, tapi belum ada kejelasan SOP terkait pebaikan. Imbasnya, antrean akan lama terutama bagi motor listrik yang hendak menukarkan baterai.
Kemudian, masalah tidak adanya petunjuk penggunaan untuk pengguna kendaraan listrik yang akan mengisi daya di SPBKLU. Hal ini bisa menyulitkan konsumen.
"Kami juga menemukan tidak semua SPBKLU dilengkapi dengan ruang tunggu yang nyaman. Mengingat bahwa pengisian daya mobil listrik paling cepat 30-45 menit, maka sudah selayaknya SPBKLU dilengkapi dengan ruang tunggu yang nyaman bagi pengguna kendaraan listrik," ungkapnya.
Sejumlah persoalan tersebut kemudian bisa menjadi faktor turunnya minat masyarakat terhadap penggunaan kendaraan listrik.
Untuk itu, Ombudsman RI menyarankan memperbanyak dan memperluas penyebaran SPKLU/SPBKLU dengan memperhatikan sarana pendukungnya seperti petunjuk penggunaan yang jelas, call center yang dapat dihubungi dan responsif apabila terdapat permasalahan yang disampaikan pelanggan, tempat tunggu yang nyaman serta SOP perawatan dan perbaikannya jika ada kerusakan," pungkasnya.
Baca Juga: Kapan Subsidi Kendaraan Listrik Turun? Menkeu Sri Mulyani Sebut Masih Tunggu Restu DPR RI
Selain itu, Ombudsman menemukan belum optimalnya pemberian insentif terutama insentif fiskal baik bagi kalangan industri, pengusaha, maupun orang perorangan.
"Hal tersebut mengakibatkan belum antusiasnya masyarakat dalam memiliki kendaraan listrik karena harganya yang cukup mahal dibanding di negara-negara lain," kata Hery.
Sebagai contoh, harga jual mobil listrik kona dai Hyundai di Amerika dan Eropa berkisar di harga Rp450.000.000, harga jual di Korea Rp350.000.000, dan Australia seharga Rp500.000.000, sedangkan di Indonesia bisa mencapai Rp698.000.000.
Fakta lainnya, terjadi disparitas harga yang cukup tinggi antara harga pabrik dengan harga jual di Indonesia.
Contoh, mobil listrik Wuling di China harganya berkisar Rp85-90 juta, namun kemudian di Indonesia dijual dengan harga Rp300 juta.
Ombudsman menilai, untuk saat ini insentif yang dikeluarkan oleh Pemerintah belum begitu optimal. Hal itu bisa mengakibatkan belum antusiasnya masyarakat dalam memiliki kendaraan listrik karena harganya yang cukup mahal.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.