JAKARTA, KOMPAS.TV – Tren pengaduan konsumen secara individu meningkat dalam tiga tahun terakhir ini. Salah satu yang paling tinggi adalah pengaduan soal jasa keuangan yang mencapai 32,9 persen dari total pengaduan di tahun 2022.
Berdasarkan laporan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada tahun 2020 terdapat 402 laporan, kemudian di tahun 2021 ada 535 pengaduan, dan pada tahun 2022 jumlah pengaduan naik mencapai 882.
“Pengaduan mengenai jasa keuangan tersebut mencakup pinjaman online, bank, uang digital, asuransi, leasing, dan investasi,” papar Ketua Bidang Pengaduan dan Hukum Rio Priambodo dalam laporan Refleksi Pengaduan Konsumen 2022, Jumat (20/1/2023) yang diikuti secara daring.
Secara rinci, tingkat pengaduan untuk pinjaman online (pinjol) sebesar 44 persen, bank sebesar 25 persen, uang elektronik sebesar 12 persen, leasing sebesar 11 persen, asuransi sebesar 7 persen , dan investasi sebesar 1 persen.
Baca Juga: Korban Gangguan Ginjal Bisa Minta Ganti Rugi, YLKI pun Buka Posko Pengaduan
Rio menyebutkan, banyaknya pengaduan dalam kategori pinjol disebabkan salah satunya adalah banyaknya jumlah pinjol illegal dibandingkan pinjol legal sehingga transaksinya tidak terpantau oleh pihak yang mengawasi.
Menurut catatan YLKI, pelaku usaha pinjol ilegal sebanyak 74 persen, angka tersebut lebih tinggi dibanding pelaku usaha pinjol legal yang hanya 26 persen.
Selain itu, faktor keluhan paling tinggi terkait masalah pinjol yakni, cara penagihan (57 persen), permohonan keringanan (11 persen), informasi tidak sesuai (7 persen), dan penyebaran data pribadi (6 persen).
Kemudian, untuk pengaduan ranah perbankan yang banyak dikeluhkan adalah terkait permohonan keringanan, cara penagihan, pembobolan, dokumen, dan lelang.
Untuk mengatasi permasalahan dalam jasa keuangan ini, Rio menuturkan, perlu dibarengi dengan literasi dibarengi meningkatkan perlindungan data pribadi.
“Tahun 2022, YLKI sudah membuat buku saku terkait inklusi jasa keuangan. Itu kedepannya perlu disampaikan ke konsumen untuk melakukan edukasi dalam mengatasi literasi keuangan yang sangat rendah,” ujarnya.
Baca Juga: Soal Gugatan Terkait Pengawasan Obat dalam Kasus Gagal Ginjal Akut, YLKI: Tergantung Keluarga Korban
Hal itu penting dilakukan, lanjutnya, karena melihat antara inklusi keuangan dan literasi keuangan ada gap yang jauh.
“Gap yang jauh itu perlu diisi dengan edukasi, pengawasan dan peran serta dari regulator dalam hal mengawasi sehingga tidak ada ketimpangan,” ujar Rio.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.