JAKARTA, KOMPAS.TV - Kekecewaan publik terhadap tuntutan jaksa penuntut umum merupakan gambaran paling jujur dari reaksi masyarakat dalam membedakan mana yang adil mana yang kurang adil.
Hal itu diungkapkan Ahli Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Albert Aries saat membuka dialog tuntutan JPU dalam perkara pembunuhan berencana Brigadir J di program Rosi KOMPAS TV, Kamis (19/1/2023) malam.
Albert menyatakan dalam sidang tuntutan masyarakat bisa menilai Richard Eliezer yang sudah memberi keterangan sejujurnya, mengakui perbuatannya dan berstatus justice collaborator harus menerima tuntutan pidana yang berat.
Padahal tindakan yang dilakukan Richard adalah perintah dari atasannya, Ferdy Sambo.
Baca Juga: Tuntutan Eliezer Lebih Berat dari Putri Candrawathi, Percuma Jujur di Indonesia?
"Artinya (Richard) hanyalah manus ministra yang tidak mempunyai kehendak, tidak mempunyai niat jahat untuk melakukan tindak pidana pembunuhan apalagi terhadap temannya sendiri," ujar Albert.
Albert menilai perbedaan tuntutan Eliezer dengan Putri Candrawathi menjadi preseden buruk bagi pelaku yang bekerja sama dengan aparat hukum dalam membongkar kasus.
Terlebih ahli hukum pidana dari JPU juga sudah menjelaskan pihak yang diperintahkan melakukan tindakan melanggar hukum adalah alat yang tidak memiliki kehendak dan tidak bisa dipertanggung jawabkan.
"Kalau pola pikir masih seperti ini orang yang bersedia mengungkap suatu perkara, orang yang jujur mengakui perbuatannya akan mengurungkan niatnya. Ini jadi preseden buruk di waktu yang akan datang," ujar Albert.
Baca Juga: Tuntutan JPU di Luar Ekspektasi, LPSK: Tanpa Richard Eliezer, Kasus Ini Tidak Akan Terbuka
Lebih lanjut Albert menyatakan dalam tuntutan JPU, tidak tercermin adanya latar belakang relasi kuasa Ferdy Sambo sehingga Richard melakukan tindak pidana.
Tuntutan jaksa hanya menilai sikap batin Richard menurut ukuran normatif dan tidak melihat kesalahan psikologis.
Padahal kesalahan psikologis merupakan kejahatan yang sesungguhnya dari dalam diri seseorang.
Untuk itu, sambung Albert, penting untuk melihat sisi kesalahan psikologis dari Richard Eliezer yang konteksnya memiliki ketaatan dan kepatuhan penuh.
"Ada tekanan moral yang tidak kuasa ditolak Richard, tekanan ini beda dengan daya paksa. Karena ada hubungan secara de facto dan de jure antara atasan dan bawahan. Ini hanya bisa dibuktikan dengan menilai kesalahan psikologis," ujar Albert.
"Kalau Indonesia masih menggunakan dan mempertahankan kesalahan normatif deskriptif secara absolut, realitanya penjara kita penuh. Karena orang yang mengobati istrinya dengan ganja itu dipersalahkan secara normatif, tidak dilihat sisi kesalahan psikologisnya. Ini perlu dilihat keseimbangannya bagaimana posisi bawahan sanggup menolak perintah," kata Albert.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.