JAKARTA, KOMPAS.TV - Mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy kembali menjabat di partai berlambang Kabah itu sebagai Ketua Majelis Pertimbangan.
Hal itu diputuskan setelah PPP melakukan konsolidasi ulang serta selesai menyusun Dewan Pimpinan Pusat (DPP) periode 2020-2025 dan memperbarui susunan majelis-majelis partai.
Plt. Ketua Umum PPP, Mardiono, mengonfirmasi dan mengakui bahwa kembalinya Romahurmuziy akan menjadi sorotan publik.
Pasalnya, laki-laki yang akrab disapa Romi itu merupakan bekas narapidana suap jual-beli jabatan di Kementerian Agama yang bebas pada tahun 2020 setelah menjalani hukuman penjara selama 1 tahun.
"Putusan pengadilan yang sudah inkracht memberikan ganjaran hukuman 1 tahun. Itu sudah dijalani, dan pengadilan tidak menghapus hak politik Mas Romi," kata Mardiono, Minggu (1/1/2023) dilansir dari Kompas.id.
Oleh karena itu, kata Mardiono, PPP masih menempatkan Romahurmuziy pada struktur majelis pertimbangan.
Baca Juga: Sandiaga Uno Jawab Kabar Pindah ke PPP: Saya Masih Kader Gerindra dan Patuh ke Prabowo
Posisi tersebut dinilai tepat karena tidak berhubungan langsung dengan perumusan kebijakan atau operasional partai, tetapi sebatas memberikan pertimbangan terhadap langkah politik partai.
PPP memandang Romahurmuziy sebagai aset partai karena selain berusia muda, ia juga merupakan anak dan cucu dari elite Nahdlatul Ulama sekaligus politisi nasional.
Di sisi lain, Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosiak Center for Stategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menilai sulit bagi PPP untuk melepaskan Romahurmuziy.
Menurut Arya, Romahurmuziy masih memiliki basis massa yang akan mendukung PPP, meski pengaruhnya tak sekuat ketika sebelum ia tersangkut kasus korupsi.
Baca Juga: Romahurmuziy Bebas, KPK Menilai Pengadilan Tinggi Jakarta Keliru
Tak hanya mengembalikan Romahurmuziy ke gelanggang politik, Arya menyebut bahwa untuk mengoptimalkan suara di Pemilu 2024 PPP harus memprioritaskan konsolidasi internal.
Sebab, ia melihat, selama beberapa tahun terakhir, PPP rentan tercerai berai karena perbedaan pilihan capres antara elite dan akar rumput, dualisme kepengurusan, serta elite yang terlibat kasus korupsi.
Arya menerangkan, lemahnya konsolidasi internal akan berdampak pada pengambilan keputusan politik yang tidak jelas.
Ketidakjelasan langkah politik PPP, kata Arya, akan mempersulit para kader dalam memobilisasi diri.
"Sebagai parpol dengan perolehan suara yang kecil, PPP tidak bisa bermain di banyak kaki, pilihan politiknya harus jelas dan diputuskan bersama dengan akar rumputnya, tidak hanya oleh sebagian kecil elite," kata Arya.
Sumber : Kompas.id
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.