YOGYAKARTA, KOMPAS.TV – Seorang ibu selalu berusaha menjadi pahlawan untuk keluarga dan anak-anaknya, bahkan saat fisik mereka mempunyai keterbatasan.
Sore menjelang senja, sinar matahari menerpa tembok depan rumah Trimah (32), di Jalan Gabus, Perumahan Minomartani, Kecamatan Concongcatur, Kabupaten Sleman, Daerah istimewa Yogyakarta.
Suara anak kecil yang sedang bermain, terdengar samar di sela suara musik yang mengalun dari dalam rumah.
Setelah beberapa kali mengetuk pintu rumah itu, Trimah pun membuka pintu dan dengan ramah menyilakan masuk.
Asap putih tipis terlihat mengepul dari malam panas di atas wajan kecil, tepat di depan pintu masuk rumah tersebut.
Api dari kompor kecil di bawah wajan, terlihat seperti berkedip-kedip, mengiringi aroma khas malam yang masuk ke rongga penciuman.
Beberapa botol bekas air kemasan berdiri tidak jauh dari malam itu, di samping kain yang sebagian sudah terlapisi malam.
Bercak-bercak sisa malam dan pewarna masih tersisa di lantai rumah Trimah, seperti menjadi saksi kegigihannya sebagai ibu rumah tangga sekaligus perajin batik.
Seorang anak laki-laki berusia 2,5 tahun muncul dari ruangan dalam rumah, dan mendekati Trimah, sang ibu.
Trimah merupakan seorang perempuan difabel tangguh. Sejak kecil aktivitasnya dilakukan menggunakan kedua kakinya, termasuk makan, mandi, bahkan membatik dan merawat anak satu-satunya.
“Saya difabel sejak lahir, jadi semuanya saya kerjakan pakai kaki,” kata Trimah saat ditemui di rumahnya, Rabu (21/12/2022).
Sejak lulus sekolah menengah atas (SMA) tahun 2010, Trimah bertekad untuk memiliki keterampilan, sebab ia merasa kondisi tubuhnya yang memiliki keterbatasan akan sulit mendapatkan pekerjaan.
“Karena kalau untuk bekerja di instansi atau di luaran kan belum banyak yang bisa menampung yang disabilitas, terutama tangan ya,” kenangnya.
Tekadnya untuk memiliki keterampilan tersebut mendapat dukungan penuh dari orangtuanya.
Kala itu Trimah sudah tertarik dan penasaran pada kerajinan batik. Ia pun memiliki niat untuk belajar membatik sebagai salah satu keterampilan.
Sepengetahuannya, untuk membatik harus menggunakan canting dan malam panas. Ia semakin penasaran, dan berpikir apakah membatik dapat dilakukan menggunakan jari kaki.
Hanya saja, waktu itu Trimah tidak berpikir bahwa keterampilan membatik dapat memberikannya penghasilan.
“Terus saya mulai belajar membatik. Awalnya sebenarnya saya juga tidak tahu kalau membatik itu bisa peluang untuk mendapatkan materi,” tuturnya.
Baca Juga: Di Balik Tembok Bangunan Lawas Pecinan Sebelah Utara Gunung Sumbing
Keinginannya untuk memiliki keterampilan membatik waktu itu hanya karena ia merasa senang bisa berkunjung ke kota lain dan bertemu banyak orang dengan batik.
Seiring berjalannya waktu, keinginannya untuk belajar membatik pun kesampaian. Trimah bersama tiga rekannya dari salah satu pusat rehabilitasi difabel mendapat kesempatan belajar membatik.
“Kebetulan saya kan dari pusat rehabilitasi Yakkum.”
Tapi ternyata belajar membatik tidak mudah, bahkan Trimah mengalami sejumlah kendala pada tahap awal, yakni tahap pembuatan pola.
Trimah merasa cukup kesulitan pada awalnya. Upayanya menggambar pola di kain persegi seukuran sapu tangan pun tidak membuahkan hasil.
“Satu kain bentuk persegi untuk sapu tangan, polanya saya membatik hanya bentuk titik-titik malam yang netes, enggak ada polanya satu pun,” kata Trimah.
“Waktu itu ada empat orang yang belajar, yang bisa tiga orang, sementara saya yang pengen sekali malah tidak bisa.”
Ia menghabiskan waktu hingga sebulan untuk membuat pola, padahal rekan-rekannya hanya perlu waktu antara satu hingga dua pekan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.