JAKARTA, KOMPAS.TV – Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mempersilakan pihak yang tidak setuju dengan pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Menurut dia, tidak semua masyarakat akan setuju ketentuan yang termuat dalam rancangan baru Kitab Undang-undang Hukum Pidana. “Kalau untuk 100 persen setuju, tidak mungkin,” tutur Yasonna Laoly, Senin (5/12/2022) yang dikutip jurnalis Kompas TV, Renata.
Pemerintah dan DPR rencananya mengesahkan rancangan baru KUHP itu pada 5 Desember 2022. Setelah disahkan menjadi KUHP, rancangan itu akan menggantikan KUHP lama, yang bersumber pada Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indië dan diberlaku secara nasional mulai 20 September 1958 silam. Sejak diberlakukan secara nasional, beberapa pasal dalam KUHP lama sudah mengalami perubahan.
Rancangan baru KUHP sempat hendak disahkan pada pertengahan tahun 2018. Namun ada penolakan terhadap pemberlakuan sejumlah pasal dalam RKUHP itu yang membuat DPR batal mengesahkannya pada waktu itu.
Yasonna mengatakan, daripada Indonesia masih harus menggunakan KUHP buatan kolonial yang sudah orthodoks, RKUHP yang akan disahkan itu, banyak yang reformatif. Karena itu, Yasonna menyarankan pihak yang tidak setuju untuk mengajukan uji materi.
Baca Juga: Meski Banyak Penolakan, Wakil Ketua DPR Pastikan RKUHP Segera Disahkan
“Daripada kita harus memakai KUHP Belanda yang sudah orthodoks, dalam KUHP ini sudah banyak yang reformatif, bagus, kalau ada perbedaan pendapat sedikit, ya nanti kalo sudah disahkan, gugat aja ke Mahkamah Konstitusi.”
Uji materi ke MK dianggap sebagai mekanisme yang konstitutional. Terlebih, kata dia, RKUHP sudah berkali-kali didiskusikan dan disosialisasikan dengan sejumlah pihak.
“Kita udah berkali-kali, baik dengan LBH, baik dengan Dewan Pers, baik dengan kampus, kan presiden menginstruksikan, tidak hanya kepada kami,” lanjut dia.
“Ada beberapa lembaga, Kemenkominfo, Polri, BIN, kita sosialisasi ke beberapa daerah. Kita tampung semua kok masukan.”
Dari sosialisasi yang dilakukan, kata dia ada sejumlah masukan dan perbaikan pada RKUHP tersebut.
“Ada perbaikan dan masukan-masukan masyarakat. Ada yang kita lembutkan.”
“Kalau ada perbedaan pendapat, ya itu biasa dalam demokrasi, tapi bukan berarti harus membajak sesuatu untuk membatalkannya,” ucap Yasonna.
Terlebih, menurut dia, perbaikan KUHP tersebut sudah dipikirkan sejak puluhan tahun yang lalu, yakni tahun 1963.
“Ini sudah lebih 60 tahun, 63 ini sudah dimulai pemikiran perbaikan ini. Malu kita sebagai bangsa masih memakai hukum Belanda.”
“Saya, guru-guru saya yang saya hormati, sangat mendambakan undang-undang ini disahkan,” imbuh Yasonna.
Ia mengajak semua pihak untuk bertindak dengan cara elegan dalam menyikapi RKUHP.
Baca Juga: Besok RKUHP akan Disahkan DPR, Sejumlah Pasal Masih Dinilai Bermasalah
“Jadi, mari sebagai anak bangsa, perbedaan pendapat sah-sah aja, kalau akhirnya nanti saya mohon gugat aja di Mahkamah Konstitusi. Lebih elegan caranya.”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.