Oleh: Trias Kuncahyono
BUKU laris karya Elizabeth Gilbert, Eat, Pray, Love yang kemudian diangkat menjadi film dengan judul yang sama, menjadikan Bali sebagai latarnya. Film (2010) Hollywood itu dibintangi Julia Roberts, Javier Bardem, dan James Franco.
Bali memang kondang karena banyak hal. Tahun 1993, penyanyi asal Filipina, Maribeth merilis lagu Denpasar Moon. Lalu, Andre Hehanusa (2001) merilis Kuta Bali. Masih banyak atau bahkan begitu banyak cerita indah, cerita hebat tentang Bali.
Pekan lalu, catatan Bali bertambah satu: sukses melaksanakan KTT ke-17 G20. Kalau dalam dunia olahraga, Bali (Indonesia) mencatat rekor dunia baru. Indonesia, sebagai tuan rumah KTT G20 memperoleh apresiasi dari banyak negara, karena keberhasilannya: banyak yang hadir dan aman, meminjam istilah Hikmahanto Juwana.
KTT menghasilkan deklarasi, Leaders Declaration Bali. Kata Menlu Retno Marsudi, ini merupakan deklarasi pertama yang dapat disepakati forum multilateral, sejak pecah Perang Ukraina, September lalu.
Walaupun, sebelumnya muncul suara-suara bernada pesimistis dari sejumlah kalangan, bahkan termasuk dari Indonesia sendiri. Bisa dipahami bahwa semula ada nada pesimistis mengingat penunjukan Indonesia sebagai presidensi G20 dan pelaksanaan KTT di tengah situasi dunia yang sangat tidak bersahabat.
Para pemimpin G20 berkumpul di Bali, di tengah pandangan global yang semakin gloomy (suram) tentang situasi perekonomian dunia, meningkatnya fragmentasi setelah serangan Rusia atas Ukraina, dan menajamnya kompetisi di Indo-Pasifik, ketegangan AS-China soal Taiwan, dan banyak persoalan lain lagi.
Dengan situasi seperti itu, antara lain, ditambah trauma akibat pandemi Covid-19 belum pulih bahkan ada kecenderungan menggila lagi, masuk akal kalau ada pandangan pesimistis.
Bahkan muncul pendapat, meskipun menguasai 80 persen perekonomian dunia, namun sebenarnya hanya sedikit yang dapat dilakukan oleh para pemimpin G20 untuk mengatasi banyaknya, besarnya, dan kompleksitas krisis yang kini dihadapi dunia. Mereka bertemu pada saat konflik berada di atas titik nyala geopolitik yang paling berbahaya dan tanpa konsensus tentang bagaimana menanggapi pergolakan politik, ekonomi dan sosial.
Apalagi, sebagaimana pertemuan internasional yang dihadiri para pemimpin negara besar, akan menjadi panggung persaingan. Di Bali, ada pemimpin AS, China, India, negara-negara Eropa yang bertemu dengan antagonisme terbuka.
Semua datang membawa agendanya sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan masing-masing. Meskipun, presidensi G20 Indonesia menetapkan tiga prioritas: arsitektur kesehatan global, informasi digital, dan transisi energi berkelanjutan.
Anggota G20 ini beragam: negara maju dan berkembang (beda dengan G7, yang merupakan kelompok negara-negara maju). Memang G20 dirancang agar lebih beragam dan representatif, tapi dengan tetap mempertahankan model pengambilan keputusan berbasis konsensus G7.
Dalam pengambilan keputusan tidak ada voting, tidak ada aturan mayoritas – jika kelompok ingin mengambil posisi, mempromosikan kebijakan, atau mendukung proyek, semua anggotanya harus menyetujuinya dengan suara bulat. Keanggotaan G20 yang bervariasi menjadikannya lebih sah sebagai institusi global.
Persoalannya saat KTT G20 digelar di Bali adalah, para anggota utamanya sekarang berselisih satu sama lain, justru ketika dunia membutuhkan kebersamaan, kesatuan tekad, langkah, dan tindakan. Krisis yang terjadi saat ini ibarat kata telah mengikat tidak hanya tangan, tetapi juga kaki G20.
Maka pertanyaan yang muncul: Apa yang bisa dilakukan di Bali? Mampukah Indonesia mempertemukan para pemimpin dunia yang memiliki kepentingan masing-masing, semua demi national interest-nya sendiri-sendiri? Terobosan apa yang bisa dicapai dalam KTT? Dapatkah KTT menyepakati deklarasi atau kesepakatan bersama, apa pun namanya?
Masih banyak lagi daftar pertanyaan bernada pesimistis yang bisa ditambahkan. Pendek kata, pertanyaan-pertanyaan itu ingin mengatakan, apa yang bisa dilakukan Indonesia di tengah dunia yang tengah berjalan tertatih-tatih mengusung beban berat ini?
Sekarang, setelah KTT berakhir - dengan guyonan Presiden AS Joe Biden, enggan pulang karena enak di Bali - terlalu naif kalau mengatakan bahwa KTT G20 tidak berhasil. Bahwa KTT, sebagai forum utama untuk kerja sama ekonomi (disepakati di KTT Pittsburgh, September 2009) dihadiri 17 kepala negara dan pemerintahan dari 20 anggota - termasuk para pemimpin G7, serta Presiden China Xi Jinping - adalah sebuah capaian tinggi.
Tidak mudah menghadirkan mereka pada situasi sekarang ini, yang antara lain terpecah karena perang Ukraina dan persaingan di kawasan Indo-Pasifik. Maka pada awal mula sempat diwarnai "drama" sejumlah negara tidak akan hadir kalau Putin diundang, karena invasi Rusia ke Ukraina.
Tentu hal tersebut menambahi beban persoalan pada Indonesia sebagai pemegang mandat presidensi, sebagai tuan rumah. Tuan rumah, tentu, sangat mengharapkan semua tamu undangan hadir tanpa kecuali.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.