YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Hantaman pandemi Covid-19 bukan alasan untuk menyerah dan kalah, bahkan bisa menjadi pemicu kreativitas untuk sebagian orang yang kehilangan pekerjaan.
Kharolin Hilda Amazona, perempuan berusia 28 tahun ini mencoba memberdayakan wanita di sekitar desanya yang terdampak pandemi.
Olin, sapaan akrabnya, memanfaatkan limbah dari sayuran rumah tangga dan tumbuhan lokal menjadi pewarna pakaian, mulai dari kulit bawang merah, kulit pisang, hingga dedaunan tertentu.
Pagi itu, Senin (31/10/2022), wajah Olin terlihat sumringah. Ia menyiapkan satu kompor gas beserta dandang berukuran sedang di teras rumahnya, Dusun Wonorejo, Sariharjo, Ngaglik Sleman.
Selembar kain katun berwarna putih diambilnya dari dalam rumah. Setelah membasahi kain itu, Olin membentangkannya di lantai.
Jemari lentik perempuan itu sesekali mengatur agar kain itu terbentang rapi, lalu dengan lincah menaburkan potongan-potongan kulit bawang merah di atasnya.
Segenggam potongan kulit bawang merah itu ditabur sesuai dengan motif warna yang diinginkan. Kali ini, ia menaburnya dengan jumlah yang tidak terlalu banyak.
“Kami memanfaatkan recycle dari limbah sampah sayuran rumah tangga dan juga pemanfaatan sumber daya alam tanaman lokal,” kata perempuan yang terpilih sebagai juara dua Pemuda Pelopor Kabupaten Sleman 2022 itu.
Olin lalu menggulung kain yang telah ditaburi kulit bawang merah, kemudian mengikatnya dengan karet sebelum dimasukkan ke dalam dandang.
Proses pengukusan pada kain itu dilakukan selama kurang lebih satu jam. Tujuannya agar warna yang berasal dari kulit bawang merah tersebut menempel pada kain.
Sambil menunggu proses pewarnaan selesai, Olin banyak bercerita tentang awal mula dirinya melakukan inovasi di bidang fashion yang ramah lingkungan.
Kegiatannya dimulai saat sang ibu yang merupakan pedagang sembako di salah satu pasar di dekat rumahnya terdampak pandemi.
Kala itu, pendapatan sang ibu menurun drastis karena adanya pembatasan-pembatasan kegiatan. Tidak tanggung-tanggung, penurunannya mencapai 80 persen.
Padahal, sang ibu sudah lebih dari 20 tahun berdagang sembako, namun akhirnya harus terhenti.
“Jadi 80 persen pendapatan dari ibu kami berkurang. Akhirnya berhenti, dan kemudian saya mencoba melihat apa potensi yang ada di desa kami,” kenangnya.
“Yang terjadi pada ibu saya juga terjadi pada tetangga kami, misalnya perempuan petani yang 50 persen hasil taninya itu harganya turun.”
Di tengah kegundahannya, Olin pun mempelajari tentang eco print dan mencoba sejumlah bahan alami yang diharapkannya dapat menjadi pewarna pakaian.
Dari beberapa percobaan yang dilakukan, ia menemukan bahwa kulit bawang merah, kulit bawang bombay, dan kulit pisang, serta sejumlah dedaunan dapat digunakan sebagai pewarna.
Selain itu, Olin juga menggunakan pewarna alam dari kulit manggis dan kayu secang yang saat ini sudah umum digunakan.
Warna dari masing-masing bahan baku itu berbeda. Misalnya, bahan kulit bawang merah warnanya kuning agak hijau, bawang bombay agak semburat oranye, dan warna dari kulit pisang kepok adalah ungu.
Ia juga menggunakan daun indigofera untuk menghasilkan warna biru.
“Dengan pemanfaatan sumber daya alam yang ada, kami jadikan fashion berkelanjutan dengan nilai ekonomi.”
Dalam perkembangannya, Olin menggandeng sejumlah perempuan dari lima dusun berbeda untuk turut dalam produksi fashion ramah lingkungan tersebut.
Sampai saat ini, ada delapan perempuan yang ikut berkegiatan, termasuk penjahit. Namun, karena hingga kini pemasaran produknya belum terlalu lancar, Olin menggunakan uang pribadinya untuk pendanaan.
Baca Juga: Peringati Hari Sumpah Pemuda, Siswa SD di Balikpapan Upacara dengan Mengenakan Pakaian Adat!
Tak jarang, uang hasil memenangkan kompetisi digunakannya untuk memodali produk-produknya.
Olin berpendapat, jika ia tidak berani bergerak menggunakan dana pribadinya, ia tidak akan pernah tahu bagaimana hasilnya nanti.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.