JAKARTA, KOMPAS.TV – Polisi mengungkap sejumlah fakta tentang Siti Elina, perempuan yang menodong seorang anggota Paspampres menggunakan senjata api jenis FN dan berusaha menerobos Istana Presiden.
Kombes Pol Hengki Haryadi, Direktur Direktorat Reserse Kriminal Umum (Direskrimum) Polda Metro Jaya, mengatakan, berdasarkan pemeriksaan, Elina sudah tiga kali mencoba masuk kawasan Istana Kepresidenan.
“Yang bersangkutan ini sudah tiga kali datang ke wilayah istana,” jelasnya, dikutip dari pemberitaan Kompas TV, Jumat (28/10/2022).
Saat menggeledah rumah Elina, polisi juga menemukan sejumlah senjata, termasuk beberapa airsoft gun.
Sementara, senjata api jenis FN yang digunakannya untuk menodong anggota Pampampres, kata Hengki, merupakan milik paman Elina yang dicurinya.
“Senjata ini baru sehari sebellumnya diambil oleh yang bersangkutan secara diam-diam, ternyata ini adalah milik pmannya, kemudian dibawa saat akan menerobos Istana.”
Baca Juga: Pistol Penodong Paspampres Siti Elina Disebut Tak Berproyektil, Magasin juga Terpisah
Polisi juga menangkap suami Elina, Bahrul Ulum, yang merupakan pembantu Bendahara Negara Islam Indonesia (NII) Jakarta Utara.
Siti Elina dan suaminya diketahui telah berbaiat pada NII sejak tahun 2017 yang lalu.
Kombes Aswin Siregar, Kabag Ops Densus 88 Antiteror menambahkan dari hasil pendalaman dan analisis media sosial, mereka terhubung dengan NII.
“Terhubung dengan Saudara SI itu BU adalah suaminya, yang sebetulnya dalam struktur, kita curigai atau kita sangka, menduduki jabatan seperti pembantu atau pendamping Bendahara NII Jakarta Utara,” tuturnya.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD angkat bicara terkita aksi Siti Elina, perempuan yang menerobos keamanan Istana Negara, dengan membawa pistol pada Selasa (25/10) lalu.
Mahfud menyebut, aksi tersebut membuktikan bahwa masih ada paham radikalisme di Indonesia.
"Kemarin ada seorang perempuan datang ke Istana membawa senjata FN dan kitab suci, tapi FN-nya kosong. Itu sebagai bukti bahwa radikalisme itu masih ada," kata Mahfud usai memberikan kuliah umum di Universitas Jember pada Jumat (28/10), dikutip dari Kompas.com.
Dia menilai, radikalisme diartikan sebagai sikap dan sebuah paham bahwa yang benar hanya ideologinya sendiri. Sementara paham yang sudah disepakati harus dibongkar dengan berbagai cara.
Baca Juga: Todong Paspampres di Ring 1 Istana Merdeka, Siti Elina Curi Pistol Milik Pamannya yang Pensiunan TNI
Mahfud MD menilai, akar paham radikalisme adalah ketidakmauan menerima kesepakatan hidup bernegara. Lalu diwujudkan dengan berbagai macam bentuk tindakan.
Adapun bentuk tindakannya, misalnya mencibir orang lain yang berbeda, ada yang masuk ke kurikulum, menyusup ke lembaga pendidikan, kemudian melakukan tindakan kekerasan seperti mengancam, mengebom, dan lain sebagainya.
Sumber : Kompas TV, Kompas.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.