JAKARTA, KOMPAS.TV - Budaya beda pendapat dan konsentrasi kekuasaan menjadi masukan terhadap Polri agar tindakan obstruction of justice dalam kasus pembunuhan Brigadir J tidak terulang kembali.
Mantan Wakapolri Komjen (Purn) Oegroseno menilai tidak salah jika budaya beda pendapat diciptakan dan berjalan di tubuh Polri.
Menurutnya anggota Polri sebenarnya bisa menyatakan keberatan dalam menjalankan perintah jika bertentangan dengan UU.
Baca Juga: Pengacara Keluarga Yosua: Dakwaan Obstruction of Justice Jadi Tanda Perintah Atasan Melebihi UU
"Pertanggungjawaban anggota Polri itu di depan hukum dan UU ini cukup berat. Kalau kita berbeda pendapat dengan pimpinan, risiko paling berat itu mutasi, dan itu tidak ada masalah, karena pimpinan juga berganti," ujar Oegroseno di program Breaking News KOMPAS TV, Rabu (19/10/2022).
Oegroseno menambahkan sejak awal pembentukan, setiap anggota Polri ditekankan untuk mencermati keputusan yang diambil.
Mengingat anggota Polri tidak punya pilihan, jika ada kesalahan dalam mengambil keputusan maka ancamannya adalah pidana atau kematian dalam bertugas.
"Anggota Polri itu satu kakinya bisa di kuburan atau kematian, satu lagi bisa di penjara. Jadi harus bertindak hati-hati saat mengambil keputusan. Ujian mengambil keputusan itu ya saat pembentukan sebagai anggota Polri," ujar Oegroseno.
Baca Juga: Ucapan Brigjen Hendra Kurniawan ke Anak Buah: Sudah Kita Percaya Saja dengan Sambo
Di kesempatan yang sama Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai tindakan obstruction of justice ini lantaran adanya konsentrasi kekuasaan yang berlebihan di Ferdy Sambo.
Diketahui selain Kadiv Propam Polri, Sambo juga menjabat Kepala Satuan Tugas Khusus yang tugas dan wewenang diberi secara luas dan berlebihan oleh Kapolri.
Sambo bisa mengambil alih perkara-perkara di tingkat daerah maupun perkara di dalam negeri dan di luar negeri.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.