JAKARTA, KOMPAS.TV – Nurina Savitri dari Amnesty International menyoroti penggunaan kekuatan berlebihan dari polisi yang mengakibatkan ratusan korban meninggal dunia dalam Tragedi Kanjuruhan Malang, Sabtu (1/10/2022).
Penggunaan kekuatan berlebihan dari polisi itu, misalnya, dengan menggunakan gas air mata dalam ruangan tertututup.
Padahal, kata Nurina, semua aturan internasional melarang menggunakannya, apalagi dalam ruangan tertutup dalam stadion seperti kasus tragedi Kanjuruhan pada Sabtu (1/10/2022) usai laga Arema FC vs Persebaya Surabaya pada lanjutan kompetisi Liga 1.
"Pertama, penggunaan kekuatan berlebihan dari polisi. Banyak narasi kemudian menyebut, itu kesalahan suporter. Kita harus kritis menyikapi percakapan ini. Karena kalau memang betul tudingan (suporter salah) itu, kenapa baru sekarang? kenapa korban banyak jatuh?" ungkapnya dalam diskusi LBH Jakarta, dikutip dari YouTube Public Virtue hari ini, Rabu (5/10/2022).
Baca Juga: Data Baru KemenPPPA: 42 Perempuan dan 37 Anak-anak Meninggal dalam Tragedi Kanjuruhan
"Ada sebuah fenomena mengarah disinformasi soal jumlah korban. Versi suporter dan relawan di hari pertama tragedi, ada yang 200 dan lalu diralat dari kepolisian dari 125. Kita semua harus kritis, harus ditanyakan ke petinggi negara," imbuhnya.
Lantas ia menjelaskan soal kekuatan penggunaan kekuatan berlebihan dari kepolisian ini dilihat dari gas air mata yang ditembakkan ke arah ruang tertutup yang dilarang dalam berbagai regulasi.
"Penggunaan kekuatan berlebihan itu misalnya terlihat dalam gas air mata digunakan stadion Kanjuruhan. Aturan FIFA jelas melarang. Protap kepolisian juga jelas, itu untuk mengendalikan massa," ungkap Nurina.
"Di international, gas air mata dilarang di ruangan tertutup. Dampaknya mengerikan. Ini poin penting. Ada penggunaan kekuatan berlebihan, ini fungsi kita minta akuntablitas," sambungnya.
Baca Juga: Tragedi Kanjuruhan, Desakan Pencopotan Kapolda Jatim Menguat, Disuarakan Sejumlah Elemen Masyarakat
Lantas, Amnesty International juga menyoroti soal Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) dan independensi, serta sikap Kompolnas yang dinilai gegabah imbas Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat yang dicopot pasca peristiwa Tragedi Kanjuruhan.
"Kedua, soal TGIPF adalah soal indepensi. Mengapa? Kita coba lihat Kompolnas kemarin (bicara soal tak ada instruksi Polres Malang-red). Sangat di awal Kompolnas bicara gitu. Disayangkan, padahal TGIPF aja baru penyelidikan," imbuhnya.
Meski begitu, lanjut Nurina Amnesty International ingin Tim investigasi bikinan pemerintah itu bisa kerja dengan serius, khususnya terkait penggunaan kekuatan berlebihan dari polisi.
Baca Juga: Selain Investigasi Tragedi Kanjuruhan, TGIPF Bakal Dalami Masalah di Setiap Laga Sepak Bola
"Kita lihat pengalaman yang ada, TGIPF atau rekomendasi dihasilkan memang kerap tidak dipatuhi menyeluruh kalau merujuk pengalaman jika terkait penggunaan kekuatan berlebihan (polisi)," ungkapnya.
Amnesty International juga menyatakan, soal penggunaan kekuatan berlebihan ini harus diungkap dan ini bukan soal persoalan menjelekkan negara.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.