JAKARTA, KOMPAS.TV- Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengatakan, resesi ekonomi global hampir pasti akan terjadi setidaknya di tahun 2023 atau bahkan bisa lebih cepat.
"Namun yang memang belum bisa diperkirakan dengan baik adalah kondisi resesinya akan seberapa berat dan seberapa lama," kata Mahendra seperti dikutip dari Antara, Selasa (4/10/2022).
Namun, ia menilai kondisi global dan domestik harus bisa dilihat dalam perspektif yang lengkap. Mahendra yakin ekonomi Indonesia pada tahun ini dan tahun depan akan tetap tumbuh dalam perkiraan di atas level 5 persen.
Ia menjelaskan, OJK sejauh ini belum bisa memastikan secara spesifik kebijakan relaksasi apa yang nantinya akan dibutuhkan. Tetapi pihaknya bersama sektor jasa keuangan terus berupaya untuk menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
"Sekiranya dalam perkembangan nanti dirasakan ada hal-hal yang memerlukan kebijakan-kebijakan yang sesuai untuk mencapai sasaran tersebut, tentu pada gilirannya akan dirumuskan dan akan ditetapkan," lanjutnya.
Baca Juga: Beda dari Resesi Ekonomi, RI Pernah Alami Krisis Ekonomi Parah pada 1998
Berdasarkan perkembangan dan informasi data sampai saat ini, sambung dia, kondisi pertumbuhan, intermediasi, dan stabilitas perekonomian tetap terjaga dengan baik.
Di sisi lain, sektor keuangan juga akan tetap optimistis dengan adanya stabilitas perekonomian domestik, meski akan tetap realistis dengan mewaspadai risiko transmisi dari kondisi ekonomi global yang semakin berat.
Sementara itu, Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan, resesi global dapat dihindari jika kebijakan fiskal pemerintah konsisten dengan pengetatan kebijakan moneter.
Meskipun kebijakan moneter diperketat dengan menaikkan suku bunga, kebijakan fiskal harus digerakkan karena krisis biaya hidup menghantam sebagian masyarakat secara dramatis.
"Kami memang membutuhkan bank sentral untuk bertindak tegas. Mengapa, karena inflasi sangat keras kepala... Ini buruk untuk pertumbuhan dan sangat buruk bagi orang miskin. Inflasi adalah pajak bagi orang miskin," kata Georgieva dikutip dari Antara.
Baca Juga: IMF Sebut Negara-negara Ini Akan Masuk Resesi yang Dalam, Penyebabnya Embargo Gas Rusia
Sebelumnya pada Senin (3/10), sebuah badan PBB memperingatkan konsekuensi serius dari resesi global yang disebabkan oleh kebijakan moneter bagi negara-negara berkembang. Lembaga ini menyerukan strategi baru, termasuk pajak "rejeki nomplok" (windfall taxes) perusahaan.
Yakni pajak tambahan bagi perusahaan komoditas yang mendapat keuntungan besar dari naiknya harga komoditas.
IMF pada Jumat (30/9/2022) menyetujui pinjaman sebagai instrumen pembiayaan darurat yang ada untuk membantu negara-negara rentan mengatasi kekurangan pangan dan biaya tinggi yang berasal dari inflasi yang diperburuk oleh perang Rusia di Ukraina.
Georgieva mengatakan antara 10 dan 20 negara - kebanyakan dari mereka di Afrika - kemungkinan akan meminta akses pada pinjaman tersebut.
Sumber : Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.